Aku menelan ludah. Diam.
"Atau kendaraan kita kecelakaan?" aku mencoba memantiknya dengan argumen aneh. Tapi telanjur terucapkan.
Kembali Rayni menghela nafas dalam-dalam. Ia tahu pilihan sulit. Apalagi perjalanan mudik kali ini untuk menengok Ibu yang sedang sakit. Sakit menua. Yang akan ditengok anak dan cucu yang baru empat tahun usianya.
Telepon berdering tepat saat aku akan naik motor untuk shalat Zuhur ke masjid. Kebiasaan baru sejak aku yang tidak lagi muda disebut dokter jantung coroner. Gerakanku serba lemah, saat dada berdebar dan punggung pegal-pegal bak habis memikul beban berat tak terkira. Â
"Sudah makan?"
"Ya."
"Kok jawabannya lemes gitu?"
"Mau jawaban yang kayak apa?" aku membatin. Dan aku bingung. Karena ini kalimat pertama, bukan selamat lebaran dan tidak sejak aku pulang dari masjid shalat Ied pagi tadi sebelum lama termenung menatap anggrek ungu dan mangga menggantung. Yang biasanya disambung dengan acara bersalaman dan sungkeman. Ia, dan anakku yang baru satu. Aku telat menikah dengan Rayni yang jauh lebih  muda dan energik. Termasuk sebagai wanita yang cerdas, punya karier bagus dan bisa mengendarai mobil dengan tangkas.
"Sudah makan obat?"
"Ya," jawabku makin lirih. "Aku mau shalat...."
"Oh, ya ya. Met lebaran ya sayang...."