Aku mengangguk.
Ia mencekal punggung tanganku.
"Nggak nyesel?"
Aku menggeleng.
"Bener?"
"Kamu ingin aku mati dalam perjalanan, dan tidak sampai ke rumah Ibu?"
Ia menarik nafas dalam-dalam. Memintaku untuk tidak lagi menyebut-nyebut kematian, hanya karena jantungan.
"Tapi di jalanan yang boleh jadi macet luar biasa, dan mendebarkan itu bisa membawaku pada kematian."
"Jalan tol sudah terbentang bagus," Rayni, istriku mencoba merayu.
"Artinya?"
"Perjalanan lancar, dan kita bisa bersama lebaran di kampung."
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!