Ayah tersenyum.
"Ayah sengaja belikan untuk Neng."
Erni mendekap buku baru itu. Buku pemandangan perkebunan teh di Pengalengan. Malabar.
"Itu pengganti bukumu ...."
Perkataan itu seperti menyadarkan Erni. Yang tadi menyelematkan diri dari reruntuhan gedek rumah sederhananya. Lalu mencari Emak. Yang meninggglkannya saat ia tidur.
"Maafkan Emak. Tadi meninggalkan Neng. Sebelum ada angin kencang. Emak niatnya mencari tahu Ayah. Untuk meminta tolong  menghubungi ayah lewat anak mang Karta yang punya hape," jelas Emak.
Mereka bertiga berpelukan. Disaksikan Mak Pinah. Orang  terdekat yang sering meminjami uang kepada emak kalau sedang tidak punya beras. Seperti niat Emak tadi menghubungi Ayah. Sebelum angin yang memporak-porandakan rumahnya. Â
"Kita bersyukur. Masih diberi perlindungan Allah. Dari  angin puting beliung yang merusak di desa kita, Rancaekek," tutur Ayah. Lalu ayah bercerita orang-orang Jakarta yang sebagian menjadi korban tsunami di Pandeglang, Banten.
Erni membenarkan. Ia menontonnya di tivi. Sebuah panggung ambruk, dan termasuk berita pelawak yang mirip AA Gym menjadi korban. Peniru ulama yang dari Sunda.
"Ini duka kita, ya Yah ...."
Ayah membenarkan. Saling pandang dengan emak.