Erni tak langsung menjawab. Ia masih diam, lama. Namun demi Emak tak kunjung tampak, ia tetap bingung dan tidak mengerti harus berbuat apa.
"Tapi kenapa kita, semua diazabkan begini. Eh, Â diratakan dengan tanah begini, Mak?"
"Sabar, ya Neng."
"Sabar untuk apa? Nunggu emak pulang? Sementara rumah kita ambruk," Erni menangis.
Mak Pinah menelah ludah.
"Kamu makan mie ini dulu. Jangan sampai perutmu kosong. Nanti sakit...."
Mak Pinah pulang. Rumahnya tidak serusak rumah Erni. Tak lama ia balik.
"Ini, makanlah. Nanti kita cari Emak."
"Ya, Mak." Dan Erni menerima mie instan seduhan yang dibuat Mak Pinah. Disuapinya mulut kecilnya. Sulur-sulur kuning pelan-pelan masuk. Lalu kuahnya. Perut terasa hangat. "Mak, apa emak sudah makan?"
Remang petang. Gadis itu tidak mandi. Ia masih saja menunggu emak. Yang menghilang entah ke mana. Mungkin sedang? Ah, Erni tak ingin membayangkan jauh tentang orang yang selama ini tinggal berdua di gubug kecil, sementara ayahnya bekerja ke Jakarta. Menjadi buruh dengan berbekal cangkul dan pengki. Dan dua pasang celana di atas mata kaki dan dua baju serta satu kaos lusuh bertuliskan: Bandung Euy!
***