Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pagi Ini Gerimis, Lis

18 Februari 2018   07:19 Diperbarui: 18 Februari 2018   07:36 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerita Minggu Pagi 65

Telepon berdering, setelah empat kali ia mem-WA teks dan tak kutanggapi. Kali ini aku angkat. Suara di ujung sana tak biasa-biasanya. Setengah nada kurang suka.

"Abang, iiiih ...!"

Aku tersenyum.

"Abaaaang ...!"

"Iya, sayang."

"Ih!"

"Kok ih?"

"Ya, kayaknya nggak kangen, deh."

Lho, iya! Eh, nggak, kok. Sesungguhnya aku kangen berat. Saking kangennya, mendingan dihimpun dan sudah siap tinggal terbang. Mendatangimu, dan kupeluk dalam-dalam. Sambil kuusap-usap rambutmu yang panjang. Lalu kulanjutkan dengan menarik hidung bangirmu biar mendekati Pinokio.

"Kok, Pinokio sih?"

Aku tertawa sambil menyeruput capuchino pada Minggu pagi di sekitar Dago.

"Bukannya mirip dengan capuchino?"

"Nggaklah," sambil menyubit pahaku. Kami duduk menghadap ke jalan yang masih lalu-lalang orang ber Carf Free Day. Gerimis masih turun. Kecil-kecil. Menyerupai jarum luruh. Nikmat apa lagi yang kurang; bertemu Iis, menyeruput capuchino dan libur dari persoalan masing-masing sepekan sebelum Minggu.

"Pinokio kan pembohong."

"Kamu?"

"Nggak, atuh. Aku bukan pembohong sampai hidungnya mancung, eh ...panjang."

Aku tersedak karena saat itu menyeruput setengah capuchino yang mendingin.

"Jadi?"

"Aku Iis siano...."

"Ha, apa itu?"

"Iis yang sayang sama Abang yang kadang suka nyepelekan hari jadian kita."

Plak! Aku menampar jidatku sekaligus menjengkangkan badan bagian atas ke sandaran bangku kayu cafe bangunan kuno di Jalan Ir Juanda.

"Makanya aku WA terus-terusan, dan Abang cuek aja."

Hm.

"Ujungnya, telpon."

"Ujungnya lagi, ketemuan. Sah. Terbayar tunai dengan asmara."

Ia mengernyitkan kening dengan mimik lucu.

"Apa itu?"

"Lagu old, kan?"

"Ya."

"Lagunya siapa hayo?"

"Lagu zamannya Erni Djohan."

"Teluk Bayur, dong."

"Ya, ya...."

Dia tertawa.

"Ini zaman Now."

"Pinokio, kan?"

Dia mendelik.

"Kita jalan, yuk."

Iis menghabiskan sisa minumannya. Glek. Lehernya yang bening seperti kulihat minuman pekat itu: capuchino.Mengalir.

Kami pun berjalan menuju Atas. Beberapa orang dengan aktivitasnya. Banyak yang bermain, dan melakukan aksi. Jalan itu seperti panggung teater bagi mereka.

"Eh, Banggg ...!"

Dia sadar, dan berbalik. Karena aku berhenti mendadak.

"Ini hadiahnya...."

Aku menyerahkan Cepot, tokoh bodor wayang Sunda. Saat ia menerima dan dengan kebingungan, aku meniup seruling kecil dari bambu. Yang kubeli bersamaan Si Cepot dari penjual mainan tradisional.

"Hadiah ....?"

"Kan hari jadian kita?"

Iis menatapku dengan mimik lucu.

"Hidup ini sudah panas di tahun politik. Kita nikmati Car Free Day dengan lucu-lucuan."

Si Rambut panjang itu pun mendekapkan Si Cepot. Aku dengan sigap memeluknya. Jalan menuju ke Atas. Tanpa batas.

Minggu ini gerimis, Iis. Gumamku.

***

AP, 18/2/18

    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun