Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kau Datang Lagi

4 Februari 2018   06:48 Diperbarui: 4 Februari 2018   07:59 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Mingu Pagi 64

Bandung lebih dingin. Kali ini. Lebih-lebih bagiku. Yang datang dari Jakarta, semalam. Tak ada urusan penting. Kecuali menuruti kata hati. Ingin menapaki jalan dari ujung Jalan Merdeka ke arah atas sana. Seperti pagi ini. Hingga ketemu ujungnya, Jalan Ir Haji Juanda.

"Ke situ kan maumu?"

"Apa urusanmu?"

"Ada."

"Apa?"

"Urusan hatimu lah."

Ini yang kerap menjengkelkan. Kalau berhadapan dengannya. Yang selalu menguntit. Mau tahu saja urusanku yang bisa juga urusannya. Keinginanku dan batinku sendiri.

"Jangan kecewa...."

"Hmmmm ...."

"Kalau ia nggak di sana."

"Kamu kok sukanya gitu?"

"Ini mengingatkan saja. Kalau kamu ke sini, dan pagi-pagi ke Dago...."

Dago sudah ramai orang di hari Car Free Day. Meski hari lebih sejuk. Langit agak kelabu. Tak apa. Kalau pun ada gerimis turun aku juga tak menampik. Bukankah ini sebuah realita. Datang dari jauh hanya untuk berpengharapan bertemu dengannya.

Kupesan secangkir capucino. Sepotong pisang goreng pun tersaji bersamaan datangnya. Dibawakan oleh seorang wanita muda bercelemek putih. Memakai tutup kepala juga dia. Tetap feminin. Karena ada setangkai frame singgah nangkring di atas hidung bengirnya. Klop.

"Kalau ada pesan lagi, silakan hubungi saya."

Aku mengangguk bersamaan ia berlalu. Dan aku terlambat. Kenapa ada pesan yang tidak biasa. Dan haruskah aku akan memintanya melayaniku, semisal meminta tambah makanan tambahan.  Apa pun itu. Termasuk secangkir lagi minuman hangat untuk mengusir pagi di jalan yang lalu-lalang orang dengan celotehnya.

"Ada walikota datang...."

Entah suara siapa. Apa peduliku. Mungkin saja ia ingin menyapa warganya. Mengingatkan Bandung tetap menarik pada pagi yang hanya semripit angin seperti sekarang. Seperti hatiku yang beku. Memikirkannya.

"Kau boleh pura-pura memesan apa saja kepada wanita cantik berkacamata itu ...."

Aku mengernyitkan kening. Sialan. Benar juga.

"Nggak usah malu-malu. Kan hanya aku yang tahu."

Jangkrik.

"Kali ini, sapa dia dengan ramah. Siapa tahu ia tahu diamu di mana."

Aku garuk-garuk kepala.

"Kauturutilah kataku."

Seblak!

"Nah, sebelum walikota datang ke sini. Nanti perhatian terpusat kepada dia."

Lelaki berikat kepala khas Sunda itu datang lebih cepat daripada yang kuduga. Dan benar. Ia menjadi pusat perhatian. Sebagian ingin foto selfie bareng orang terkenal itu. Termasuk wanita berkacamata yang belum sempat kupesan darinya secangkir lagi minuman pagi hangat.

"Berdua saja, Kang ... Walikota." Pinta wanita itu berubah menjadi ganjen.

Hatiku berdesir.

"Apa kubilang. Kamu telat."

Aku menelan ludah. Ingin membasahi tenggorokan agak tak jeles. Meski mata tetap nanar. Tak suka adegan di depan mata.

"Kan ada aku, Bang ...."

Sebuah tangan berada di pundak kiriku. Mengaliri seluruh tubuhku kemudian. Dan berhenti di ulu hati. Clep.

"Aku lagi bersama Walikota...kerja."

Aku tak perlu menoleh. Membiarkan tangannya dilepas, dan ia duduk di kursi depanku.

"Aku pesankan secangkir lagi, ya? Kata Ika Abang gelisah. Setelah menghabiskan secangkir ...."

Aku memejamkan mata.

"Ini aku, Bang."

Aku mengangguk.

"Yang kautunggu-tunggu... seperti dipantau Ika," katanya. "Biar dia dengan hasrtanya berfoto bersama ...."

Aku menghembuskan nafas.

"Abang mau kan memotretku?"

Ia menyodorkan HP lebar pipih itu.

"Yang bagus, ya?"

Aku tak menjawab. Selain mengambil HP-nya, aku mengambil camera D-SLR yang kutenteng ke mana-mana. Yang pernah membidiknya entah berapakali ke wajah wanita di depanku.

Ia menjentikkan jemarinya. Ceklek!

***

AP, 4/2/18

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun