Cerita Minggu Pagi 44
Kota ini disapa angin pagi. Semripit. Seperti pagi ini, ketika ke luar dari kamar hotel lantai enam, mungkin sebagian masih ngelindur dan memeluk pasangannya. Â Aku tidak. Aku memeluk tubuhku sendiri, duduk di bangku putih menyerupai huruf L tak sempurna.
Kutenggak air mineral yang kubeli dari mini market dua puluh empat jam. Sesekali menggerung mesin kendaraan, roda dua atau empat. Yang membuatku menahan dingin melihat mereka bersepeda motor, yang di belakang memeluk perut si pengendara. Dari ujung bawah helm si pemeluk perut itu mengurai rambut panjang, "Mariane...."
Tak juga membuatku gegas balik ke hotel. Karena tak ada Ane di kamar itu. Atau siapa pun makhluk berkaum hawa yang acap disebutnya punya dua mulut. Termasuk istilah Ane kalau sedang berseloroh. "Itu kelebihan dari lalaki, Bang."
Aku tak punya kelebihan apa-apa. Sekarang. Duduk di bangku putih dan bola-bola beton sisa-sisa konperensi Asia-Afrika itu. Di mana siang hingga sore kemarin Bandung menjadi Lautan Manusia untuk sebuah acara karnaval. Aku di antara jejalan itu, dan tidak dengan siapa-siapa. Hanya kelebatan wanita-wanita bergaya dengan memotret diri sendiri. Atau melintas sebra cross, dan meniru John Lenon, Ringgo Star, Paul Mc Cartney dan George Horison di Inggris sana dalam foto yang mendunia.
Jalan di depanku, kini melintang garis. Lengang. Dan dingin masih menyergap lewat angin pagi. Kupandangi. Siapa tahu ada makhluk bermulut dua, berambut panjang dari arah depan menghampiriku.
"Boleh Rere duduk di sisi Anda?"
Aku mendongakkan kepala. Bersirobok dengan sebuah wajah cantik nyaris sempurna. Mata bening, hidung tinggi, alis tebal dan sepasang bibir tebal, barangkali kelebihan ia dari Mariane. Tak juga rambutnya yang cukup panjang dan tebal.
"Anda Rere ...."
"Iya, Bang." Ia mengubah sebutan diriku.
"Untuk apa ingin duduk di sisiku."