“Tak ada gambar ....”
“Maaf, Pak ....”
Lelaki itu mengisyaratkan kepada beberapa orang yang mendampinginya. Lalu ia membisikkan kata-kata. “Ambil gambarku yang paling gagah. Dan segera serahkan poster itu ke ibunya R ini. Untuk dipasangkan di sini.”
“Siap ...!”
Ia kembali menghadapi Ibu yang terus-menerus menangis sambil bersimpuh. Dan ucapannya seperti kaset rusak zaman dulu. “Bagaimana nasib anakku ...!”
“Gini, Bu ....”
“Bagaimana nasib anakku!”
“Ya, ya saya ngerti. Sangat ngerti. Ia anak ibu satu-satunya. Tapi ia anakkku juga. Anak yang hebat perjuangannya walau masih muda. Ia seperti yang digambarkan sahabatku yang suka menyanyikan, darah muda darahnya para remaja/ yang tak mau mengalah ....hahahaha.”
“Bagaimana nasib anakku.”
“Ya, saya ngerti. Paling berapa bulan bulan akan keluar. Karena ia ada di garis belakang.”
“Trus bagaimana nasib saya, Pak. Saya makan apa kalau tak ada dia. Yang biasa nyari makan kita.”