Ia duduk bersila di kursi dikeliling banyak orang yang semuanya duduk di bawahnya. Di hadapan mereka terbentang layar lebar.
“Baguuus ...!” sebut lelaki yang duduk di kursi itu.
“Hantaaam ...!”
“Bakar ...!”
“Goooool...!”
Lelaki yang duduk di kursi itu menjentikkan jarinya, diusapnya janggut yang dua warna itu. Sembari mengangguk-angguk, ia meminta mematikan layar yang menggambarkan perjuangan mereka.
“Hebat, kalian ...!” katanya.
“Hiduuup pemimpin kita!”
Malam pun berlalu. Hingga esoknya lelaki berjanggut itu dilapori. Tentang mereka yang mengadakan aksi di layar lebar itu ditangkap aparat keamanan.
“Sebagai pemimpin kalian, aku akan bertanggung jawab ...!” katanya.
Dan mereka pun menuju tempat penahanan tiga laki-laki muda dan seorang yang cukup dekat dengannya. Mereka semua diam seperti kerbau yang dicocok hidungnya.
“Inilah perjuangan kita. Sekali-kali, jangan kendur ...!” kata lelaki yang disebut pemimpin itu.
Namun suasana sepi. Sunyi. Kepala tiga orang muda dan satu yang menjadi pemimpin yang ada di layar lebar itu ditekuk. Sama sekali tidak tegak dan bahkan gagah seperti ketika berjuang dalam aksinya itu.
“Tenang sajalah. Kita akan bela sekuat-kuatnya ....”
“Tapi ....”
“Apa? Tak ada tapi, wahai ...anak-anakku. Kalian ini pejuang. Aku pemimpinmu. Aku yakin, kita benar. Paling tidak, kalian akan masuk surga ....”
Dan banyak lagi yang diceramahkan lelaki itu. Mereka megangguk-angguk. Dan diam saja ketika punggungnya ditepuk-tepuk sebelum ditinggalkan. Dan kemudian merasakan ruang sempit dengan pintu berjeruji hitam.
***
Laki-laki pemimpin itu bergerak ke wilayah tempat tinggal empat orang yang ada di pintu berjeruji hitam itu. Satu-satu didatangi dengan gagah seperti biasanya. Semua diberikan arti semangat dan perjuangan.
“Ibu ini ibunya R?” katanya di kunjungan terakhir itu.
“Benar, Pak ....”
Kali ini lelaki berjanggut itu menghela nafas dalam-dalam. Dipandanginya sekeliling rumah sederhana itu. Dindingnya yang kusam, dan tak ada hiasan apa pun.
“Tak ada gambar ....”
“Maaf, Pak ....”
Lelaki itu mengisyaratkan kepada beberapa orang yang mendampinginya. Lalu ia membisikkan kata-kata. “Ambil gambarku yang paling gagah. Dan segera serahkan poster itu ke ibunya R ini. Untuk dipasangkan di sini.”
“Siap ...!”
Ia kembali menghadapi Ibu yang terus-menerus menangis sambil bersimpuh. Dan ucapannya seperti kaset rusak zaman dulu. “Bagaimana nasib anakku ...!”
“Gini, Bu ....”
“Bagaimana nasib anakku!”
“Ya, ya saya ngerti. Sangat ngerti. Ia anak ibu satu-satunya. Tapi ia anakkku juga. Anak yang hebat perjuangannya walau masih muda. Ia seperti yang digambarkan sahabatku yang suka menyanyikan, darah muda darahnya para remaja/ yang tak mau mengalah ....hahahaha.”
“Bagaimana nasib anakku.”
“Ya, saya ngerti. Paling berapa bulan bulan akan keluar. Karena ia ada di garis belakang.”
“Trus bagaimana nasib saya, Pak. Saya makan apa kalau tak ada dia. Yang biasa nyari makan kita.”
Lalu lelaki itu kembali memberi isyarat kepada para pengiringnya. Sambil berbisik.
“Ini, Bu,” katanya sambil menyerahkan sejumlah uang.
Ibu itu menerima. Dan tetap menangis.
“Bagaimana nasib anakku ....”
“Ya, ya. Ini hanya sementara. Karena anak Ibu akan masuk surga.”
Laki-laki itu bangkit dan menepuk-nepuk punggung Ibu yang masih sesengukan.
Aku tak mampu melihat itu. Juga takkan menuliskannya. Aku ke luar dan langsung meninggalkan gubug derita itu.
***
Angkasapuri, 17/1/2017
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H