Aku yang berdiri tepat di antara mereka yang berhak: dua wanita hamil dan seorang wanita berikat kepala. Gonjlang-ganjleng, kereta terus disesaki penumpang. Dari stasiun-stasiun yang ada. Hingga kemudian naik seorang wanita hamil lagi. Ia yang memungkinkan lebih cepat di depan bangku di depanku, seperti meminta diri. Seraya menyebutkan sedang hamil, walau tak kudengar seraya memegangi perut bucitnya.
“Di sana tak ada, Mbak?” tanya si Ibu berikat kepala itu. Menunjuk ke bangku di depannya.
“Tidak ...!” sahut wanita hamil ketiga itu.
Dengan segan-seganan, wanita berikat kepala itu pun berdiri. Tanpa basa-basi lagi. Lalu asyik berbincang dengan wanita yang lebih muda yang sudah berdiri.
“Kita sedang tidak berutung, Bu,” kata wanita yang lebih muda.
“Ya. Percuma kita naik lebih dulu.”
Entah apalagi perbicangan mereka. Kereta cukup berisik. Seperti keduanya menampakkan wajah kesal. Entah untuk apa bagian kesalnya itu. Mungkin terusir tak bisa duduk hingga stasiun yang akan dituju, entah tentang orang yang dianggap sebagai penista agama. Bukanurusanku.
“Kita turunnya di Godangdia ...!” sebut wanita ikat kepala itu kepada beberapa orang yang seperti mereka. Berikat kepala dan membawa atribut yang tak bisa kubaca.
Di Stasiun Gondangdia itu, mereka pada turun. Termasuk dua wanita hamil kedua dan ketiga. Sehingga tinggal wanita hamil pertama yang kupersilakan duduk itu.
“Anda bijak ...,” sebut wanita hamil itu ketika kereta mulai melaju, dan aku duduk di sampingnya.
Aku mengernyitkan kening.