Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dipertemukan Hujan Sore di Terminal Leuwi Panjang

20 November 2016   14:27 Diperbarui: 20 November 2016   15:08 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dok.ukmkesenianuniversitasjember.com

HUJAN belum turun ketika aku selesai memesan paha ayam untuk digoreng lagi. Plus tahu Bandung berwarna kuning. Sehingga nasi yang menggunung akan bersanding  dengan warna itu. Nanti diimbuhi irisan timun, sawi dan leunca. “Sambal ini akan selalu mengingatkanku padamu Lia,” desisku seraya menyendok sambal terasi berwarna cokelat ke cobek kayu kecil.

Gugusan hari-hari

Indah bersamamu Camelia

Kau berlari mengejar mimpiyangtak pasti

Lirik lagu itu, bangsat! Kenapa pas aku akan memarkir pantat, dan sesosok semampai berkaus panjang hitam dan bertopi baret merah masuk berkelabat. Lalu duduk di depanku. Seraya membuka topinya.  

“Aku sudah tujuh purnama mengejarmu ke mana ....”

Lia tak memberiku nafas.

“Aku lupa, kau akan mampir ke sini tiap tanggal dua puluh tujuh sore. Hujan atau tidak ....”

Aku membiarkan paha ayam dan tahu yang digoreng lagi itu disorongkan pelayan warung seberang Terminal bis Leuwi Panjang dan kutatap dengan dada berdegup.

“Kau orangnya sekarang tak tahan ....”

Aku memejamkan mata. Kuhimpun kelebatan-kelebatan hamparan perdu teh, para layang, dan para pemetik teh yang naik-turun di dataran Pengalengan. Juga senyum Lia.

“Lia sendiri?”

“Lia sendiri apa?”

“Mengejar mimpi yang tak pasti!”

Gadis berkaus lengan panjang hitam itu mendengus. Kesal.

“Kuingatkan, ya!” katanya dengan ditekan, menahan marah. “Aku melanjutkan apa katamu. Kalau aku ... bisa menjadi besar kalau aku ke Jakarta. Menjadi ...ah! Sudahlah....”

Aku mulai mengambil paha ayam yang tidak panas itu. Kucolekkan ke sambal di cobek.

“Kaulupa?”

Aku memejamkan mata. Lalu kutatap ia, Lia. Nasi sekepal kuangsurkan ke bibirnya yang masih basah seperti dulu-dulu. Lalu, kusertakan sepotong suwiran ayam yang sudah dipolesi sambal terasi.

“Sayurnya ....” desisnya di sela-sela makanan yang diudap. Matanya mengerjap ...ah!

Namun aku melakukan apa yang diperintahkan. Dan ketika sawi itu ujungnya hendak melewati sepasang bibirnya, ia memajukan. Agar sayuran itu lebih masuk. Dan, seperti yang kuduga. Ia menggigit jemariku. Lama.

“Banyak orang ngeliat ....”

“Biar saja!”

Ah. Kekerasankepalaan Lia itulah yang meruntuhkanku. Juga air dari langit, ketika aku mulai menyuapi mulutku sendiri.

“Aku mau nembang untukmu, ya ... Bubuy bulan ...!” Tanpa menunggu jawaban, ia mendatangi dua lelaki yang menggitar di depan pintu warung itu. Yang sejak tadi menyanyikan lagu-lagu Ebiet G. Ade, dan sesekali diselingi Franky Sahilatua.  

“Teh Lia ...akhirnya ketemu juga, ya?” kata pengamen bertopi yang sesekali meniup harmonikanya itu. “Mau nyanyi apa?”

“Bubuy bulan ....”

“Ini musim hujan, Lia sayang ...,” kata Si Rambut Gondrong, pengamen satunya yang menjadi pengisi suara di warung khas Sunda itu.

Lia tertawa seraya melempar ke arahku. Menggoda.

“Biar, biar saja hujan. Kan tujuh purnama aku baru ketemu dia....”

Tawa dua pengamen itu pun mengiringi suara Lia.

Aku memejamkan mata pas suapan terakhir dengan sepotong sayur, dan jemariku yang tadi gigitnya gadis berkaus hitam panjang itu.

“Ini lagu kedua ...!” ucap Lia, yang jelas untukku. Ia justru menengok ke luar, di mana hujan masih runtuh dari langitnya di atas.

Hei hujan, berhentilah sejenak ...!

***  

Seberang terminal bis Leuwi Panjang, 20 Nov

  

Sumber Gambar

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun