“Biar saja!”
Ah. Kekerasankepalaan Lia itulah yang meruntuhkanku. Juga air dari langit, ketika aku mulai menyuapi mulutku sendiri.
“Aku mau nembang untukmu, ya ... Bubuy bulan ...!” Tanpa menunggu jawaban, ia mendatangi dua lelaki yang menggitar di depan pintu warung itu. Yang sejak tadi menyanyikan lagu-lagu Ebiet G. Ade, dan sesekali diselingi Franky Sahilatua.
“Teh Lia ...akhirnya ketemu juga, ya?” kata pengamen bertopi yang sesekali meniup harmonikanya itu. “Mau nyanyi apa?”
“Bubuy bulan ....”
“Ini musim hujan, Lia sayang ...,” kata Si Rambut Gondrong, pengamen satunya yang menjadi pengisi suara di warung khas Sunda itu.
Lia tertawa seraya melempar ke arahku. Menggoda.
“Biar, biar saja hujan. Kan tujuh purnama aku baru ketemu dia....”
Tawa dua pengamen itu pun mengiringi suara Lia.
Aku memejamkan mata pas suapan terakhir dengan sepotong sayur, dan jemariku yang tadi gigitnya gadis berkaus hitam panjang itu.
“Ini lagu kedua ...!” ucap Lia, yang jelas untukku. Ia justru menengok ke luar, di mana hujan masih runtuh dari langitnya di atas.