“Lia sendiri?”
“Lia sendiri apa?”
“Mengejar mimpi yang tak pasti!”
Gadis berkaus lengan panjang hitam itu mendengus. Kesal.
“Kuingatkan, ya!” katanya dengan ditekan, menahan marah. “Aku melanjutkan apa katamu. Kalau aku ... bisa menjadi besar kalau aku ke Jakarta. Menjadi ...ah! Sudahlah....”
Aku mulai mengambil paha ayam yang tidak panas itu. Kucolekkan ke sambal di cobek.
“Kaulupa?”
Aku memejamkan mata. Lalu kutatap ia, Lia. Nasi sekepal kuangsurkan ke bibirnya yang masih basah seperti dulu-dulu. Lalu, kusertakan sepotong suwiran ayam yang sudah dipolesi sambal terasi.
“Sayurnya ....” desisnya di sela-sela makanan yang diudap. Matanya mengerjap ...ah!
Namun aku melakukan apa yang diperintahkan. Dan ketika sawi itu ujungnya hendak melewati sepasang bibirnya, ia memajukan. Agar sayuran itu lebih masuk. Dan, seperti yang kuduga. Ia menggigit jemariku. Lama.
“Banyak orang ngeliat ....”