Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Mojang Ini Tak Mau Kugandeng

16 Oktober 2016   07:12 Diperbarui: 16 Oktober 2016   09:11 294
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ceritaminggupagi 7

Jalan dengan pohon-pohon besar berdiri seperti raksasa itu diam. Tak bergeming. Sementara makhluk mungil di sampingku terus meringkik sejak di ujung timur Jalan Merdeka sejak kami bertemu di TB Gramedia.

“Bisakah kau hentikan barang sejenak tawamu yang ....”
 “Apa?”

“Kok menantang sih?”

“Nggak berani?”

Tanganku kuulurkan untuk meraih ujung lengan kirinya yang berjari lima lentik itu. Ia mengangkat cepat sehingga terhindar dari cekalan telapak tanganku.

“Kenapa?”

Ia tak menjawab. Hanya sebentar celingak-celinguk, dan melanjutkan langkahnya dengan sedikit menunduk. Hingga rambutnya jatuh, dan dengan sigap dibenahinya. Lalu disisirnya dan dikebelakangkan di telinganya. Ada giwang di telinganya berkilat.

“Kenapa aku nggak boleh menggandengmu?”

Ia menunduk seraya menggigit bibir bawahnya.

Pamali ....”

Aku yang tertawa kali ini.

“Kenapa?” ia kini yang bertanya balik.

“Mmmmm ....”

“Jawab!”

“Harus?”

Ia mengangguk pasti, meski lemah.

“Bukannya mboten pareng?”

Ia tertawa seperti sejak kami bertemu di deretan rak-rak buku puisi, kumpulan cerita pendek dan novel tadi. Setelah saling berkabar tentang di mana kami akan bertemu melalui HP. Kami sama-sama dari daerah yang punya unggah-ungguh cara Jawa.

“Aku kuliah di ITB serius. Karena ini bea siswa ....aku akan menjaga ini secara .....”

“Ya, ya.”

“Nah, maturnuwun ....”

Kami asyik tenggelam di deret buku sastra di lantai dua di bagian belakang toko buku yang hiruk-pikuk. Sabtu ini orang seperti menjadi makhluk pembaca dan kita boleh berharap. Negeri ini akan diiisi oleh orang-orang bermartabat. Bermarwah. Bukan orang-orang pintar, dan pandai pula berwajah dusta dengan telanjang. Penuh kebencian tersebab tak suka kata-katanya dijawab oleh orang yang tak disukainya. Karena merasa dipermalukan.

“Aku pun serius kuliah ....”

Ia tersenyum, saat menoleh ke arahku. Begitu tulus.

“Aku merasakannya.”

Aku senang, dan mengangguk. Kami yang saling berjongkok, dan aku melihat ia sesosok mojang yang asyik untuk diajak berbincang.

“Kau seperti mojang yang ....”

“Aku mojang?”

“Ya.”

“Geulis?”

“Pisan.”

Ia merengut.

“Ih.”

Aku tertawa. Lalu kami sepakat untuk jalan menuju ke arah matahari terbit. Barangkali ada sinar, ah ngaco. Ini malam hari. Dan girimis baru habis ketika kami tunggui di teras TB Gramedia. Dengan pembicaraan, yang sesekali muncul bahasa Jawa. Tentang aku yang sedang terlempar mewakili Kudus atau Jawa tengah di sebuah pertandingan tepok bulu angsa.

“Kamu tahu di mana kita akan makan nasi timbel itu?” Aku masih berjalan di sisi kanannya. Melindungi sosok mungilnya, siapa tahu ada angkot yang jeles melihat ke arah kami. Ah tidak. Mereka yang berpasangan, malah lebih asyik. Selain mengikik, juga diteruskan dengan bergandengan. Bahkan ada yang mojang melingkarkan lengannya ke atas pinggang jajaka.

Aku ingin seperti mereka. Tapi, ah. Sabarlah diri ini. Ia pasti akan kudapatkan. Buktinya, ia bersedia kuajak ajak ketemuan di Bumi Parahyangan. Yang pertama di sekitar Dago, dan dilanjutkan dengan mencari buku bacaan tambahan, bukan buku yang menurutnya sudah membuatnya tua lebih cepat.

“Aku belajar di mana Bung Karno belajar. Tapi aku ndak ingin menjadi korban rayuan orang hebat itu.”

“Kok nggak nyambung, sih.”

“Siapa tahu engkau sejenis makhluk itu.”

“Yang kaulihat?”

Ia tak berani menatap ke arahku.

“Sudah lupakan sejarah lelaki besar dalam soal itu.”

Kami pun berbelok ketika ada sebuah tempat yang menjanjikan. Untuk makan nasi timbel. Dan sebelum masuk, melankah ke halaman bersuasana romantis itu, ia berhenti. Aku pun berhenti.

“Eh, siapa yang akan membayar?”

“Aku ke Bandung sini, untuk menang. Dan aku mendapat bonus, dan sekaligus dengan menang bertemu denganmu ....”

Ia menohok perutku.

“Aaah ....” aku kaget.

Ia menelengkan kepala. Senyumnya mengembang. Saat itulah tangannya kuraih. Dan tak berontak kugandeng. Kami pun berjalan menuruni tangga batu bata yang ditata rapi. ***

Keterangan:

Pamali (Bahasa Sunda): kurang elok

Geulis : cantik

Mboten pareng (Bahasa Jawa): tidak boleh

Bandung pagi ini 16/10

      

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun