“Ih.”
Aku tertawa. Lalu kami sepakat untuk jalan menuju ke arah matahari terbit. Barangkali ada sinar, ah ngaco. Ini malam hari. Dan girimis baru habis ketika kami tunggui di teras TB Gramedia. Dengan pembicaraan, yang sesekali muncul bahasa Jawa. Tentang aku yang sedang terlempar mewakili Kudus atau Jawa tengah di sebuah pertandingan tepok bulu angsa.
“Kamu tahu di mana kita akan makan nasi timbel itu?” Aku masih berjalan di sisi kanannya. Melindungi sosok mungilnya, siapa tahu ada angkot yang jeles melihat ke arah kami. Ah tidak. Mereka yang berpasangan, malah lebih asyik. Selain mengikik, juga diteruskan dengan bergandengan. Bahkan ada yang mojang melingkarkan lengannya ke atas pinggang jajaka.
Aku ingin seperti mereka. Tapi, ah. Sabarlah diri ini. Ia pasti akan kudapatkan. Buktinya, ia bersedia kuajak ajak ketemuan di Bumi Parahyangan. Yang pertama di sekitar Dago, dan dilanjutkan dengan mencari buku bacaan tambahan, bukan buku yang menurutnya sudah membuatnya tua lebih cepat.
“Aku belajar di mana Bung Karno belajar. Tapi aku ndak ingin menjadi korban rayuan orang hebat itu.”
“Kok nggak nyambung, sih.”
“Siapa tahu engkau sejenis makhluk itu.”
“Yang kaulihat?”
Ia tak berani menatap ke arahku.
“Sudah lupakan sejarah lelaki besar dalam soal itu.”
Kami pun berbelok ketika ada sebuah tempat yang menjanjikan. Untuk makan nasi timbel. Dan sebelum masuk, melankah ke halaman bersuasana romantis itu, ia berhenti. Aku pun berhenti.