SMS Nindy, admin Kompasiana yang diforward Arum Sato ke saya, Jumat malam sehari sebelum Kompasianival menggugah. “Kita, KutuBuku akan diberi satu meja,” tambahan dari Arum.
Jadi mikir. Apa yang mesti dipersiapkan KutuBuku? Ya, ngangkut buku-buku para Kompasianer yang sudah diterbitkan dan digelar di sana nanti. Juga segera meng-SMS Ikhwanul Halim yang baru dua hari sebelum Kompasianival (Ngoplah Fiksi) untuk membawa X banner tentang bukunya yang diterbitkan dengan komunitas KutuBuku.
Sebelum berangkat, sempat menulis tentang apa yang bisa KutuBuku persembahkan di Kompasianival. Dan beberapa saat masuk NT (Nilai Tertinggi). Lumayan.
Ya,SatuMejaSaja
Meski begitu, ada semangat: ini baru komunitas terlibat di Kompasianival. Ndak seperti penjelasan beberapa punggawa Kompasiana – termasuk Kang Pepih Nugraha – bahwa acara Kompasianival akan dibagi dengan acara Komunitas secara tersendiri mungkin di Desember 2016. Tempat, boleh jadi: Bentara Budaya Jakarta (BBJ), masih di Kompleks Kompas-Gramedia Palmerah, Jakarta Barat.
Nah, kami pun masih berbenah. Bersama Ikhwanul Halim, Syaiful W Harahap, Bertho Sinaulan, dan lainnya. Eh, tiba-tiba Bu Menteri Luar Negeri berjalan akan melintas ke depan KutuBuku. Ya, saya pun perlu menyambutnya. Setelah menyapa, lalu saya beritahu ada “kembangan” dari Kompasiana, bahwa ada sejumlah Kompasianer yang menerbitkan buku. “O, begitu. Wah, hebat!” kata wanita yang pernah menjadi Duta Besar Belanda itu.
Terjadilah perbincangan yang lumayan menarik. Setidaknya, saya bersama KutuBuku bisa menjelaskan. Jika di Kompasiana ada sekitar 300. 000 lebih orang yang bergabung sebagai Kompasianer. “Di antara itu, ada yang kemudian menulis dan dibukukan di KutuBuku, Bu. Sudah ada 42 judul. Ya, ditulis oleh Kompasianer dari mana pun. Bahkan ia yang ada di Jerman sekalipun. Di sinilah Kompasiana berperan menampung warganya menulis,” kata TS sambil menunjukkan salah satu dokumentasi karya Gaganawati yang kebetulan dikatapengantari Menteri Peranan Wanita.
CatatanuntukKompasianival2017
KutuBuku lumayan menunaikan “penunjukkan” atawa atas permintaan – bahasa Isjet – Kompasiana. Sebab, mengingat ini bukan arena Komunitas yang ada di bawah Kompasiana berkumpul. Kecuali para Kompasianer seperti diistilahkan Langit Queen: Kita kan seperti akan kondangan di Kompasianival, hehehe. Dan mungkin benar, Uda Thamrin Dahlan. Lebih asyik ngeriung di luar panggung yang menampilkan berbagai nara sumber dan booth-booth peserta Komasianival 2016. Sehingga tercatat teman-teman semisal Kang Nasir yang saya kabari ada Kompasianival. “Jadi, begini ini, ya Kompasianival? Saya baru pertama kali dateng di acara beginian,” ujar Kompasianer dari Cilegon.
Pebrianov, Axtea 98, Iskandar Zulkarnain, Susy Heryawan, dan lain-lain berjam-jam ngeriung di luar. Ngobrol ngalor-ngidul, termasuk error-nya K dan isu-isu ndak karuan hehehe. TS mengerti. Tersebab para Kompasianer tak seperti Kompasianival 2014 (TMII) atau 2015 di Gandaria City, yang terlibat. Minimal, ada booth atawa stan, di mana bisa untuk berlabuh dan ngeriungnya para Kompasianer yang sebagian dari daerah. Ini, misalnya kelas kami yang ndak makan di kompleks Smesco. Tapi ke Warteg di sisi kanan luar gedung megah itu. Teha Sugiyo, Susy Heryawan, Ikhwanul Halim, Bang Iz, sampai Kang Nasir, “Udah TS tinggal saja. Saya yang mbayar,” katanya karena saya akan diwawancarai, hehehe.
Acara Kompasianival 2016, istilah Kang Nasir ya ndak seru-seru amat. (Tak ubahnya nangkring besar, istilah Isson). Meski ia tak bisa membandingkan dengan Kompasianival sebelumnya, setidaknya tak seperti TS. Barangkali, ini bisa diperhitungkan untuk Kompasianival 2017. Ndak perlu dipisahkan dengan Komunitas-nya. Meski istilah Nurulloh, “Supaya bisa fokus.”
Ya. Inilah catatan kecil TS.
Salam Kompasiana!
***
Foto-foto: Ikhwanul Halim, Isjet, Arum Sato
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H