Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pertemuan Jalan Menuju Negeri Hujan

9 Oktober 2016   06:27 Diperbarui: 9 Oktober 2016   08:51 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Minggu Pagi 6

Aku duduk manis, menghela nafas dalam-dalam setelah memarkir pantat di kursi empuk hijau lumut. Sedikit, memejamkan mata ... ketika membuka mata karena ada daging empuk di sisi kiri pantatku, nafas kusemburkan.

Seorang wanita, memegangi ponsel canggihnya untuk bercermin. Lalu ia mengerjap-ngerjapkan bibirnya seperti sedang berdandan dan atawa mendandani bibirnya. Dilanjutkan dengan senyam-senyum kayak monyet cantik membetulkan alisnya yang mirip golok. Seperti diasah agar lebih landep.

“Ini ke Bogor kan ya?” katanya seperti bukan ditujukan kepadaku.

“Kalau kereta ini ndak nyasar ke Serpong atau ke Lebak....” sahutku sekenanya pula.

“Iiih ...!”

“Kok ih?”

“Abang ini ....”

“Ndak ganteng, ya?”

Tanpa menoleh, ia mengerjap-ngerjapkan bibirnya. Seperti mengulang tadi begitu duduk di sisiku yang tidak ada orang lain. Bibirnya yang ingin dibenahi. Agar lebih menantang sempurna.

“Iiih ....”

“Saya ndak kegatelan ....”

Baru ia tertawa dengan bermartabat. Tertawa indah dan teratur, maksudku. Sebab jika ia tertawa model kuntilanak di kereta yang berangkat dari Stasiun Jatinegara, pasti aku angkat kaki. Biarpun aku selama ini dikenal sebagai lelaki pemberani dan ini terjadi pada siang hari. Tak jadi ke Bogor Negeri Hujan pun tak apa.

“Sampeyan sepertinya sedang ada proyek. Dengan membawa tas koper besar, berkeringat dan tergopoh-gopoh ....”

Tanpa malu jidat kutepuk sendiri. Kenapa ia bisa pas menebak?

“Anda ...eh, sampeyan bukan kuntilanak, kan?”

“Kalau kuntilanak cantik, kenapa emang?”

“Ya artinya kita ndak berjodoh.”

“Ow!” sengaunya.

“Kenapa? Menolak saya lamar?”

“Sampeyan genderuwo. Kulo kuntilanak cantik. Klop, kan?”

Aku mencoba mencari-cari sisir. Sesungguhnya aku tak pernah mengenal benda itu. Jadi takkan kutemukan benda itu di tas besar berisi buku-buku yang ditandai wanita sebayaku di sisiku itu sebagai sedang punya proyek. Hanya tersebab aku kepayahan menggotong koper bermerek itu naik ke kereta commuter line. Bisa-bisanya ia menebak aku sedang punya proyek. Tak masuk akal. Karena ia monyet cantik? Kuntilanak cantik?

Penumpang kereta nyaman Sabtu pagi  itu tak kunjung padat. Kalaupun naik penumpang lain, mereka tak mencoba mengusik sepasang genderuwo dengan kuntilanak ini sedang pedekate.

“Sudah. Kita baik-baikan saja.”

“Lho, jadi nikah ndak?”

“Ya, sesampai di Bogor, dan kita cari Pak Lebe untuk menikahkanlah.”

Ia menjentikkan jarinya. Jelas, jari-jemari lentik yang dirawat. Jari-jari yang tidak bersentuhan dengan sabun colek. Dan ia berfungsi sebagai seorang pembantu rumah tangga atawa PRT. Bukan. Namun apabila ia jadi menjadi istriku setelah menemui Pak Lebe di Bogor, ia mesti pintar masak. Aku paling doyan masakan. Sepertinya seluruh Nusantara yang kata Bos Madyang temanku Rahab Ganendra, ini negeri penuh pesona. Termasuk jengkol dan petai asyik kalau diolah oleh wanita cantik yang ikhlas menyajikan kepada suaminya.

“Real sajalah. Setelah turun dari kereta di Bogor, saya traktir toge goreng ....”

“Ih!”

“Kok ih?”

“Ya, kenapa ndak soto mie saja?”

“Jadi! Deal.”

Alkisah kereta masih terus melaju. Silih berganti orang yang duduk di bangku berjok hijau lumut yang kami pantati bersama wanita entah siapa. Entah monyet cantik, entah kuntilanak cantik. Tapi ia asyik. Untuk diajak ngawur seorang genderuwo ini.

“Jadi, di dalam tas memberengkut itu isinya buku kan?”

“Satu di antaranya buku nikah kosong yang akan kita isi dengan nama kita.”

“Gud! Namaku, jangan disingkat seperti nama genderuwo Te Es.”

“Kuntilanak ...?”

“Tamita Sastrawati ....”

Jidat terpaksa kutepuk lagi.

“Jadi, Anda yang akan bicara sebagai nara sumber di acara ....”

“Kalau ndak keberatan.”

“Kalau keberatan?”

“Artinya, kita tak berjodoh.”

Ia tertawa. Lebih bermartabat. Lebih bermarwah.

“Ndak nyangka ....”

“Kalau seorang pengarang cantik?”

“Bisa begitu. Karena zaman jadul, konon perempuan yang menulis fiksi adalah orang-orang introvert. Yang ngerem dan mengeluarkan unek-uneknya. Zaman sekarang kan menempelkan jidatnya yang licin, bibir merah ....”

“Ini kan era ....”

“Ya, perempuan yang menulis cantik seperti Lili Az, Fitri Manalu, Laura Irawati, ...yang sebagian itu oleh Kompasiana dimasukkan jadi nominator fiksianer terbaik. Sama cantiknya seperti Ayu, Dee atau ....”

Ia ikut membantuku menurunkan tas koper merah besar. Cukup sudah. Ia tipe wanita berjari-jemari lentik dan bisa kujadikan istri. Bukan seperti selama ini bersinggungan di dunia maya di mana Tamita menempelkan wajahnya yang buruk. Entah foto siapa.

Kami pun turun dari commuter line. Dan sesungguhnya, aku akan kebingungan kalau ia akan satu panggung denganku ngomong di hadapan banyak mahasiswa yang tersebutkan cantik-cantik di Negeri Hujan. ***

Angkasapuri, 9/10 setelah Kompasianival 2016

 

   

                `

                                                                                  `

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun