Blep!
Matahari habis masuk ke dalam laut. Aku menggandeng Winda. Untuk pulang ke tempat penampungan atlet satu daerah.
“Aku sudah mendapat medali emas. Kau pun akan membawa medali ….”
“Dan Te Es untuk kupersembahkan kepada Ayah.”
“Sang pelatih bagi kita berdua.”
Dari arah depan muncul lelaki yang tak kami sangka-sangka. Ayah Winda. Namun karena hari mulai gelap, aku tak melihat jelas kebengisannya saat ia sedang melatih kami. Entah Winda melihat dan merasakannya. Karena ia anaknya.
“Terlalu lama kalian ….”
Rupanya ia memperhatikan kami. Mungkin termasuk ketika Winda kutangkap saat melompat tadi, dan kupeluk selain hendak kucium.
Ah, seandainya, gumamku.
“Senja jatuh di Bandung Utara …,” aku nyanyi-nyanyi riang sepotong lagu Bimbo.
“Ini bukan di Bandung ….,” sergah Winda.
“Senja jatuh di Pangandaran …!”
***