Aku tertawa.
“Kau rindu, ya?”
Ia mencubit pahaku. “Nggak usah ditanyakan.”
“Kok tadi waktu mau kucium ndak mau.”
Ia mendelik.
“Bukannya ndak mau … tapi pengin yang lebih lama,” godaku.
Ih! Winda merengut.
Kami sama-sama diam lagi. Senja hampir sempurna dengan ujung bawah lingkaran matahari menempel ke laut. Kami sama-sama atlet yang sedang mengikuti kejuaraan tingkat nasional. Aku atlet terjun payung, dan Winda atlet terjun payung juga. Dilatih oleh seorang yang keras, disiplin dan tak ubahnya macan yang setiap saat akan menerkam kijang apabila bidikannya meleset. “Ini olahraga yang membutuhkan konsentrasi penuh. Dan nyawa taruhannya,” tegurnya jika kami sesekali ketahuan bercanda.
“Aku ingin pulang membawa mendali dan ….”
“Aku. Untuk kau kenalkan dengan ayahmu yang kangen momong cucu.”
Mentari tenggelam pelan-pelan. Winda diam. Ingin menyempurnakan senja yang tinggal sepotong. Mataharinya kian separo.