MATAHARI, sinarnya mencorong. Lurus. Menembus ke dalam rumah. Menerpa mata yang baru kubuka. Aku kaget.
“Sialan!”
Aku menghela nafas. Rumahku memang bocor dindingnya, dan pyannya, dan ada genteng yang berserakan sehingga kalau hujan sebagian airnya menetes masuk ke dalam rumah. Aku miskin, gumamku mengakui. Namun istriku masih ada. Justru istriku itu yang membawaku menjadi miskin.
“Jangan dimatiin ...!” serunya amat marah, kalau ia terbangun dan TV yang ditonton itu menontonnya tidur. Lalu ia meraba-raba, mencari, dan begitu menemukan remote control ia menggeser posisi tidurnya. Langsung menghadap ke layar kaca. Klik.
Lalu tertawa. Sambil menuding-nuding kelucuan pemainnya, yang sebenarnya tidak lucu menurutku. Hanya karena kedodoran mengenakan pakaian. Atau wajahnya disemprot tepung sehingga ia gelagapan. Kali lain ada perempuan dengan pakaian minim, sebagai babu, jalan megal-megol dan kena semprot air kran seorang sopir yang naksirnya.
Aku menggeleng. Begitu selalu kelakuannya. Yang mulai kuyakini ia yang membuatku miskin. Bersama. Alangkah tidak enaknya. Miskin karena:
“Matiiin, knapa?” seruku saat ia ke luar dari kamar mandi, dan lampu di dalam kamar mandi yang pintunya keropos di bagian bawahnya karena kena air berjalan ngeslem tak berasa salah. Ya, karena akulah yang kemudian mematikannya. Selalu.
Aku lapar, pengin makan. Tapi sejak pagi tadi, aku sadar tak bisa memberinya uang untuk belanja. Jelas takkan ada masakan di meja atau di mana pun di seluruh ruang rumah. Nasi, mungkin masih di dalam rice cooker. Nasi semalam.
Makanlah seadanya. Makanlah selagi lapar. Perut lapar adalah lauk-pauk yang paling enak.Aku tertawa. Kayak anak kecil saja. Sedangkan aku sudah hampir punya cucu. Meski semua anak-anakku yang telah berkeluarga jauh, tak tinggal bersama kami yang miskin. Miskin untuk belanja, miskin dengan rumah yang bolong-bolong. Miskin pengertian bersama dengan istri. Ya, hidup yang telah kami jalani menjelang tiga puluh tahun.
Istriku tak pernah miskin. Tidak meyakini ia menjadi miskin. Karena ia jika sedang tidak punya uang meminta uang kepada anak-anaknya. Minta ditransfer melalui ATM-ku. Dan aku disuruhnya mengambil. Tidak boleh kurang seperti jumlah yang dikirimkan oleh anak kami.
“Kamu minta dong, sana sama Jum, sama Riii ...!”
Aku tak berani. Malu. Karena aku masih merasa bisa bekerja. Entah bekerja apa saja. Karena sesungguhnya aku tidak pernah bekerja. Hanya bekerja dari rumah. Dan jika ada yang menghasilkan, aku dikabari. Lalu aku mengambilnya lewat ATM. Ya, aku kadang tak mengerti itu uang dari mana. Aku sudah tak punya buku rekening bank yang sudah sekian tahun menjadi langganan. Jauh di rumahku di kampung sana. Sebuah rekening yang kubuka ketika aku punya pekerjaan sambilan di daerah kelahiran. Aku pun sekarang tak punya KTP sana. KTPku KTP di rumah yang kian ringkih dengan alamat di Jalan Sutra.
“Aku ingin makan ....!” desisku setelah berjalan ke meja yang polos. Tak ada masakan apa pun.
“Makan?” seru istri.
“Ya.”
Dia tertawa.
“Kenapa tertawa .....”
Aku mengernyitkan kening.
“Kebiasaan. Bangun tidur makan.”
Aku menelan ludah.
“Dasar kereee ...!”
Aku tak bisa menahan diri. Dikatakan kere itu lebih dari miskin. Sudah gembel. Tapi mungkin benar. Aku sudah gembel. Yang tak bisa menggugat. Karena tak bisa memberi uang belanja kepada istri. Jadi, kenapa kamu masih hidup dengan kere?
Aku masih berdiri dengan kedua tangan berteletekkan di atas meja kosong. Bingung. Tak mengerti mesti berbuat apa.
“Masih mengharap Tuhan memberimu makan?”
Aku tatap dia, aku marah. Kenapa Tuha dibawa-bawa? Istriku melengos. Sambil tertawa.
“Apa maksudmu tertawa?”
Ia menyahut dengan cepat. Seraya terus berlalu ke ruang depan yang gersang dengan tanaman. Tanaman di halaman rumah sebagian sudah mati. Karena kami miskin, tak bisa berbuat banyak. Tak mungkin menyiangi tanaman-tanaman itu.
“Masih mau makan?”
“Ya ...,” sahutku lemah.
Dia tertawa.
“Senang benar kau tertawa. Mentertawakanku ....”
Dia cepat berbalik badan. Lalu berjalan dengan mantap. Dengan mata yang mencorong. Dan ia sudah mengacungkan telunjuknya. Lalu mendarat di kening.
“Ini puasa tauuuu ...!”
Aku terjengkang. Bluk. Jatuh ke lantai bukan porselen atau keramik. Tegel tiga puluh tahun lalu. Di mana aku masih punya penghasilan hebat. Ketika awal-awal berkeluarga. Belum muncul Jum atau Ri.
Aku memejamkan mata. Hanya karena mencorongnya matahari lewat lubang atap, langsung mendarat di kedua mataku yang belum kumandikan. Aku merasa silau. Dan tak menemukan Tuhan di sana.
“Sialaaaan ...!”
***
Angkasapuri, sehari menjelang puasa Ramadan 16
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H