Aku tak berani. Malu. Karena aku masih merasa bisa bekerja. Entah bekerja apa saja. Karena sesungguhnya aku tidak pernah bekerja. Hanya bekerja dari rumah. Dan jika ada yang menghasilkan, aku dikabari. Lalu aku mengambilnya lewat ATM. Ya, aku kadang tak mengerti itu uang dari mana. Aku sudah tak punya buku rekening bank yang sudah sekian tahun menjadi langganan. Jauh di rumahku di kampung sana. Sebuah rekening yang kubuka ketika aku punya pekerjaan sambilan di daerah kelahiran. Aku pun sekarang tak punya KTP sana. KTPku KTP di rumah yang kian ringkih dengan alamat di Jalan Sutra.
“Aku ingin makan ....!” desisku setelah berjalan ke meja yang polos. Tak ada masakan apa pun.
“Makan?” seru istri.
“Ya.”
Dia tertawa.
“Kenapa tertawa .....”
Aku mengernyitkan kening.
“Kebiasaan. Bangun tidur makan.”
Aku menelan ludah.
“Dasar kereee ...!”
Aku tak bisa menahan diri. Dikatakan kere itu lebih dari miskin. Sudah gembel. Tapi mungkin benar. Aku sudah gembel. Yang tak bisa menggugat. Karena tak bisa memberi uang belanja kepada istri. Jadi, kenapa kamu masih hidup dengan kere?