Aku masih berdiri dengan kedua tangan berteletekkan di atas meja kosong. Bingung. Tak mengerti mesti berbuat apa.
“Masih mengharap Tuhan memberimu makan?”
Aku tatap dia, aku marah. Kenapa Tuha dibawa-bawa? Istriku melengos. Sambil tertawa.
“Apa maksudmu tertawa?”
Ia menyahut dengan cepat. Seraya terus berlalu ke ruang depan yang gersang dengan tanaman. Tanaman di halaman rumah sebagian sudah mati. Karena kami miskin, tak bisa berbuat banyak. Tak mungkin menyiangi tanaman-tanaman itu.
“Masih mau makan?”
“Ya ...,” sahutku lemah.
Dia tertawa.
“Senang benar kau tertawa. Mentertawakanku ....”
Dia cepat berbalik badan. Lalu berjalan dengan mantap. Dengan mata yang mencorong. Dan ia sudah mengacungkan telunjuknya. Lalu mendarat di kening.
“Ini puasa tauuuu ...!”