Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

(LOMBAPK) Sepatu Kemenangan

2 Juni 2016   04:06 Diperbarui: 2 Juni 2016   04:19 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PANDU terlambat memasuki gerbang sekolah. Meski sudah susah payah merambah jalan becek. Beruntung ia masih diperbolehkan Penjaga Sekolah yang sekaligus Satpam.

“Sepatumu kotor benar, Ndu ...,” sapa Pak Sakimun yang sering dipanggil anak berkulit agak gelap dengan panggilan Pakde.

“Ya, Pakde. Makanya, saya terlambat,” ujar anak bertubuh kurus itu.

“Jangan terus-terusan. Nanti aku ikut repot kalau memperbolehkan kamu masuk. Padahal sudah telat.”

“Iya, Pakde.”

Pandu pun bergegas menuju ruang kelas lima, dua di ujung Timur deret ruang kelas bercat biru pintu-pintunya. Dan, ia masih repot dengan membersihkan sepatunya. Sebelum masuk ke dalam kelas yang sudah mulai mata pelajaran. Ada suara Bu Tamita yang cempreng.

“Selamat pagiii ...Bu. Maaf, saya terlambat,” ujar Pandu.

Bu Tamita menghela nafas dalam-dalam. Sejurus kemudian, memperhatikan alas kaki Pandu. Ia pun menggeleng-gelengkan kepala.

“Kamu boleh masuk. Tapi bersihkan dulu sepatumu ...!”

Pandu pun ke luar ruang kelas diiringi dengan tawa teman-teman Kelas lima.

***

Jam istirahat, waktu pengolok-olokan kepada Pandu. Terutama Kartono teman sekelasnya yang berbadan tegap dan berambut agak keriting. Ia menikmati betul ketika melihat Pandu masih saja membersihkan sepatunya. Anak itu tidak jajan di kantin seperti Kartono, Agil dan Bain. Tiga gerombolan itu memang selalu usil pada Pandu.

“Besok-besok, datangnya satu jam sebelum jam pelajaran. Lalu membersihkan sepatumu. Apalagi, sekarang sering hujan!” ejek Kartono.

“Kasihan sama Pakde ... yang ngepel lantai kelas,” sambung Bain.

Pandu kesal juga lama-kelamaan. Ditatapnya Kartono dengan tatap tajam.

“Eh, apa maksudmu?” Kartono tidak senang. “Nantangin?”

Pandu mendengus.

“Ya.”

Kartono tertawa diiringi Bain dan Agil.

“Cuker! Brani-braninya nantangin aku.”

Pandu berkata dengan gagah.

“Kalau aku ndak akan terlambat dan sepatuku lebih bersih daripada sepatumu. Besok, kita buktikan.”

Kartono makin ngakak.

“OK, OK bos. Tantanganmu kuladeni. Gimana aturannya. Apa taruhannya?”

Pandu bingung juga. Namun ketika saat itu melintas Pakde Penjaga Sekolah, ia punya gagasan aneh.

“Gini. Siapa yang datang sebelum jam pelajaran, dan sampai di depan kelas sepatunya paling bersih, dia yang menang. Sepatu tidak boleh ditenteng. Tetap dipakai.”

“Adiiil ...!” sahut Kartono sombong.

 “Dan yang kalah, ngepel lantai ruang kelas. Pakde biar ndak ngepel selama seminggu. Pakde, jadi jurinya.”

Kartono menjentikkan jari.

“OK. Aku terima tantangan ini. Saksikan besok, teman-teman. Dan selama seminggu ke depan, dia akan ngepel ruang kelas.”

Pakde setuju. Meskipun ia ketar-ketir. Ia tahu di mana rumah Kartono. Rumah Pandu, apalagi. Daerah yang lebih jauh dari sekolah dan kalau hujan, lumayan beceknya. Dengan mengambil jalan mana pun. Pandu sulit menang, pikirnya.

“Saya akan jadi juri yang fer ....,” kata Pakde.

Teng! Jam istirahat habis.

***     

Malam itu hujan turun deras. Kartono yang habis main video game, tersenyum. Membayangkan esok akan ke sekolah dengan sepatu yang lebih bersih daripada sepatu Pandu. Dan ia akan menang. Lalu bersama Bain dan Agil mengejek Pandu yang mengepel lantai ruang kelas. Mungkin juga semua teman-teman kelas lima. Aha!

Esoknya, gerimis masih turun. Kecil-kecil saja. Beberapa siswa SD Kompasiana bergegas. Meski ketika melewati lapangan sekolah, hati-hati. Karena tanah lapang itu sebagian becek. Mereka menghindari rumput yang tergenang air.

Kartono yang baru tiba di depan ruang kelas, memperlihatkan sepasang sepatunya kepada Pakde Penjaga Sekolah.

“Bersih, kan Pakde?” tanya Kartono.

Pakde hanya bisa menganguk-angguk.

“Ya, lumayan.”

Kartono tertawa.

“Kita tunggu Si Pandu yang sok jagoan!” kata Bain yang paling sering membela Kartono yang suka mentraktirnya di kantin.

Mereka pun menunggu. Pakde tampak ketar-ketir. Lima menit lagi, jam pelajaran dimulai. Dan ia harus menjaga pintu pagar halaman.

fiksiana-kompasiana-574f51502523bd5d0da1adfd.jpg
fiksiana-kompasiana-574f51502523bd5d0da1adfd.jpg
gambar: dok. fiksiana.kompasia

Dari pintu gerbang sekolah, berjalan Pandu. Tampak tenang. Tidak mengenakan topi seperti biasanya. Padahal, gerimis masih rintik.

“Selamat pagi, Pakde ....selamat pagi, Kartono.”

Pakde menyahut. Kartono tidak. Agil dan Bain terdiam.

“Sepatu saya, tentu lebih bersih daripada sepatu Kartono ...Pakde,” kata Pandu. Ia baru saja membuka plastik yang membungkus sepasang sepatunya. Kantong plastik hitam yang penuh lumpur.

Pakde tercekat.

“Ya, ya ... jauh lebih bersih, Pandu!”

“Jadi? Ah, Pakde seminggu ndak usah ngepel lantai ruang kelas lima. Biar Kartono saja yang ambil alih,” sahutnya seraya memandang ke arah Kartono.

Kartono menepuk jidat.

Pandu tertawa. Dan ia menyalami Pakde sebelum masuk ke ruang kelas. Karena Bu Tamita sudah berjalan dari arah Matahari Terbit. Di mana sinarnya mulai menggantikan gerimis pagi di SD Kompasiana.

***

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun