Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

(Lomba Humor PK) Setannya Tak Dikerangkeng

12 Februari 2016   06:49 Diperbarui: 12 Februari 2016   07:35 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Setannya Tak Dikerangkeng

Oleh Thamrin Sonata

 

“PADA bulan puasa, setan-setan dikerangkeng,” kata Ustadz muda di madrasah atau sekolah agama sore hari. Penjelasan Ustadz Cholil berikutnya kurang lagi diperhatikan. Yang penting, setan, hantu atau belis (maksudnya iblis) ndak gentayangan di dunia selama sebulan. Terutama di sekitar Jalan Dahlia yang sejajar dengan Jalan Jenderal Sudirman.  

         Aku dan teman-teman yang umumnya baru kelas tiga dan empat SD, manggut-manggut mendengarkan. Beberapa anak tampak senang benar. Terutama anak-anak wanita. Jelas, terutama bagi yang penakut. Seperti Waljini dan Ipah. Ya, walaupun kami tinggal di kota, listrik yang berkekuatan 110 voltage-nya tetap riem-riem. Ini tahun enam puluhan di kota kecil Pemalang, Jawa Tengah. Nama desanya Pekunden. Cerita serem masih menjadi bagian penting di antara anak-anak.

         “Bisa sebulan penuh nih kita tarawih,” kata Waljini. Maksudnya, ia tak takut dan bisa salat tarawih berjalan sendirian ke langgar.

        “Ya, kita tetep ramai-ramai ke langgar*,” sahut Dupinah. “Serem kan lewat pekarangan Wak Haji Said sendirian.”

        “Setujuuu ….!” seru Ipah.

        Aku sebagai salah satu anak nakal, berpikirnya lain. Bagaimana bisa mengerjai anak-anak perempuan itu. Lha, sebulan penuh libur sekolah dan hanya tarawih, dan sebagian menderas tadarus setelah salat sunnah 23 rakaat itu. Mana Pak Haji Said kalau menjadi imam bacaannya panjang. Ini yang sebenarnya menimbulkan anak-anak suka usil.  

        Rencana matang setelah Al Bahrin gabung. Dia badannya lumayan besar, dan siap menjadi penyangga tubuhku yang lebih kecil daripadanya. Ceritanya, kami akan menjadi hantu di bulan puasa dan mengganggu anak-anak wanita itu. Persisnya, akan dilakukan setelah ba’da salat tarawih. Saat anak-anak wanita itu jalan pulang.

        “Goni dan Soleh yang menggiring mereka biar lewat pekarangan Haji Said,” cetusku.

         “Siiiip …!”

                Untuk menjadi hantu, sebenarnya sederhana saja. Yaitu aku digendong Bahrin. Lalu aku berkerudung sarung, hanya bagian mata yang kelihatan. Meniru Batmanlah. Sarung yang ke bawahnya menutupi pula tubuh Bahrin. Dia yang wajahnya tertutup, hanya mengandalkan aku. Menurutiku ke mana bergerak.

         Aku,  Bahrin, Goni  dan Soleh bergegas pulang begitu Haji Said yang mengimami tarawih secara tetap sebulan itu. Jarak langgar ke pekarangan Haji Said tak jauh, meskipun memang gelap dan tak ada bolam yang menyala di sekitar halaman luas itu. Ada bolam yang menyala, satu. Itu pun yang dipasang di pekarangan Pak Husen. Di mana masih banyak tumbuhan iteng-iteng, pohon katuk.

         Berdebar-debar juga aku, sebenarnya. Ya, karena pekarangan Haji Said itu terkenal sepi. Rumah besar dan pekarangan luas, yang menjadikan kesan angker. Cerita soal malam-malam anak-anak ndak berani ambil mangga atau belimbing jatuh di pekarangan itu bagian dari horor lama di antara kami anak-anak. “Mungkin juga supaya ndak ada yang berani nyolong mangga atau belimbing,” kata Bahrin yang sebenarnya masih keponakan Haji Said.

                Saat rombongan Waljini, Dupinah dan entah berapa lagi mulai tampak, aku segera disunggi Bahrin. Ya, duduk di pundaknya. Dengan singkat, aku dan Bahrin sudah menjadi hantu tinggi. Mungkin juga karena anak-anak wanita itu jalannya pelan, dan mindik-mindik sehingga persiapan itu lancar. Terutama setelah Goni dan Soleh meninggalkan mereka, yang awalnya mengajak rombongan itu melewati pekarangan Haji Said yang masih di langgar.

                “Yaaah …!” seru mereka.

                “Jahat bener, ih Goniiii …!” seru suara Waljini. Kedengaran ketakutan.

                Aku menahan tawa.

                “Jangan goyang-goyang!” Bahrin mengingatkan.

                Aku menuruti. Bahkan aku punya ide. Dengan tambahan suara menggeram: hoooh ….hooooh!

                “Hih …hih-hih!” sambung Bahrin.

                Suara aku dan Bahrin itu sempat menimbulkan perdebatan kami berdua. Kuanggap ndak klop. Masak hoooh-hoooh dan hih …hih-hih. “Itu suara hantu perempuan,” selaku.

                “Hhooh-hoooh, kayak bukan …!” nggantung suara Bahrin.

                Tapi bagi Waljini dan kawan-kawan mungkin tak penting suara hantu itu seperti apa. Yang jelas mereka menengok ke arah hantu.

                “Sett …an!” seru Waljini lebih dulu.

                “Iyyy-ya!” sambung yang lain. Mereka lupa dengan kisah yang diceritakan Ustadz Cholil tentang setan yang dikerangkeng pada bulan puasa. Tapi mereka masih segera melakukan perlawanan.

                “Qul audhu birrobin nas ….!”

                “Maliki …naaaas …!”

                Mereka membaca surat An-Nas. Sebagai penangkal hantu, yang pernah diajarkan Ustadz Cholil kalau tak bisa baca ayat Qursi. Aku dan Bahrin menahan cekikian. Dan kemudian menjadi sebuah kemenangan manakala mereka berhamburan. Lari pontang-panting.

                “Kok hantunya nggak takuuut …!” seru Ipah sambil berlari. Diikuti yang lain.

                Sial bagi Waljini. Ia yang rupanya masih ribet dengan baju salatnya, membuatnya terjatuh. Dan ia melolong minta tolong.

                “Tunggui akuuuu …!”

                Rasa setia kawan mereka bubar berantakan. Tinggallah Waljini terseok-seok sambil terus meminta agar tidak diganggu kami, hantunya.

                “Hoooh, hoooh …!” seru Bahrin, ganti tidak dengan hih-hih-hih. Menjadi hantu laki-laki dia. Meski tetap suara anak-anak. Tapi masih saja membuat Waljini meraung-raung.

                “Tolooong …!” serunya. “Aduuuh ….aku pipiiiis …!”

                Mau tak mau aku tertawa. Dan itu mengguncangkan Bahrin yang menyunggiku. “Jangan bergerak-gerak …!” ingatnya.

                Aku dan Bahrin menikmati betul pemandangan di depan mata. Sambil terus menahan diri untuk tidak bergoyang apalagi sampai ambruk.

                Nah, saat itulah Waljini melawan. Ia rupanya mencari-cari kerikil atau batu. Dapat. Dan tanpa pikir panjang, ia segera menyerang. Bertubi-tubi. Dan karena posisinya terduduk, rendah, maka batu yang dilempar sejajar. Kenalah Bahrin. Bukan aku yang di atas.

                “Aduuuuh …!” serunya.

                Waljini tak menyudahi serangannya dengan apa saja. Dan Bahrin kewalahan.

                “Waaaal ….ini aku!” Bahrin tak bisa menahan diri. Dan ia, limbung. Bruk. Aku yang di atas pundaknya …jatuh.

                “Aduuuuh …!” seruku pula. Karena di atas, maka jatuhnya lumayan daripada Bahrin. Walau tidak fatal.

                Waljini seperti kesetanan. Tak mempedulikan kami sebagai hantu yang jatuh dan mengaduh. Ia terus menimpuki kami sebagai hantu.

                “Waaal …!”

                “Jiniii …!” sambungku masih kesakitan.

                Waljini bangkit berdiri. Terus menyambit dengan apa saja ke hantu yang terus mengaduh. Kesakitan. Di tempat sepi itu, tak ada yang peduli.

                “Setaaaan …!” katanya, dan ia lalu berdiri  untuk berlari. Tak mempedulikan kami. “Kalian mestinya dikerangkeng …!”

***       

Keterangan: (Bahasa Jawa)

Langgar               : mushala, tempat ibadah kaum muslim yang lebih kecil daripada masjid

Disunggi              : digendong dengan posisi di atas pundak

Mindik-mindik   : Mengendap-endap.

 

Angkasapuri, 12.2.2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun