Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

(Lomba Humor PK) Setannya Tak Dikerangkeng

12 Februari 2016   06:49 Diperbarui: 12 Februari 2016   07:35 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

        “Goni dan Soleh yang menggiring mereka biar lewat pekarangan Haji Said,” cetusku.

         “Siiiip …!”

                Untuk menjadi hantu, sebenarnya sederhana saja. Yaitu aku digendong Bahrin. Lalu aku berkerudung sarung, hanya bagian mata yang kelihatan. Meniru Batmanlah. Sarung yang ke bawahnya menutupi pula tubuh Bahrin. Dia yang wajahnya tertutup, hanya mengandalkan aku. Menurutiku ke mana bergerak.

         Aku,  Bahrin, Goni  dan Soleh bergegas pulang begitu Haji Said yang mengimami tarawih secara tetap sebulan itu. Jarak langgar ke pekarangan Haji Said tak jauh, meskipun memang gelap dan tak ada bolam yang menyala di sekitar halaman luas itu. Ada bolam yang menyala, satu. Itu pun yang dipasang di pekarangan Pak Husen. Di mana masih banyak tumbuhan iteng-iteng, pohon katuk.

         Berdebar-debar juga aku, sebenarnya. Ya, karena pekarangan Haji Said itu terkenal sepi. Rumah besar dan pekarangan luas, yang menjadikan kesan angker. Cerita soal malam-malam anak-anak ndak berani ambil mangga atau belimbing jatuh di pekarangan itu bagian dari horor lama di antara kami anak-anak. “Mungkin juga supaya ndak ada yang berani nyolong mangga atau belimbing,” kata Bahrin yang sebenarnya masih keponakan Haji Said.

                Saat rombongan Waljini, Dupinah dan entah berapa lagi mulai tampak, aku segera disunggi Bahrin. Ya, duduk di pundaknya. Dengan singkat, aku dan Bahrin sudah menjadi hantu tinggi. Mungkin juga karena anak-anak wanita itu jalannya pelan, dan mindik-mindik sehingga persiapan itu lancar. Terutama setelah Goni dan Soleh meninggalkan mereka, yang awalnya mengajak rombongan itu melewati pekarangan Haji Said yang masih di langgar.

                “Yaaah …!” seru mereka.

                “Jahat bener, ih Goniiii …!” seru suara Waljini. Kedengaran ketakutan.

                Aku menahan tawa.

                “Jangan goyang-goyang!” Bahrin mengingatkan.

                Aku menuruti. Bahkan aku punya ide. Dengan tambahan suara menggeram: hoooh ….hooooh!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun