“Tunggui akuuuu …!”
Rasa setia kawan mereka bubar berantakan. Tinggallah Waljini terseok-seok sambil terus meminta agar tidak diganggu kami, hantunya.
“Hoooh, hoooh …!” seru Bahrin, ganti tidak dengan hih-hih-hih. Menjadi hantu laki-laki dia. Meski tetap suara anak-anak. Tapi masih saja membuat Waljini meraung-raung.
“Tolooong …!” serunya. “Aduuuh ….aku pipiiiis …!”
Mau tak mau aku tertawa. Dan itu mengguncangkan Bahrin yang menyunggiku. “Jangan bergerak-gerak …!” ingatnya.
Aku dan Bahrin menikmati betul pemandangan di depan mata. Sambil terus menahan diri untuk tidak bergoyang apalagi sampai ambruk.
Nah, saat itulah Waljini melawan. Ia rupanya mencari-cari kerikil atau batu. Dapat. Dan tanpa pikir panjang, ia segera menyerang. Bertubi-tubi. Dan karena posisinya terduduk, rendah, maka batu yang dilempar sejajar. Kenalah Bahrin. Bukan aku yang di atas.
“Aduuuuh …!” serunya.
Waljini tak menyudahi serangannya dengan apa saja. Dan Bahrin kewalahan.
“Waaaal ….ini aku!” Bahrin tak bisa menahan diri. Dan ia, limbung. Bruk. Aku yang di atas pundaknya …jatuh.
“Aduuuuh …!” seruku pula. Karena di atas, maka jatuhnya lumayan daripada Bahrin. Walau tidak fatal.