“Hih …hih-hih!” sambung Bahrin.
Suara aku dan Bahrin itu sempat menimbulkan perdebatan kami berdua. Kuanggap ndak klop. Masak hoooh-hoooh dan hih …hih-hih. “Itu suara hantu perempuan,” selaku.
“Hhooh-hoooh, kayak bukan …!” nggantung suara Bahrin.
Tapi bagi Waljini dan kawan-kawan mungkin tak penting suara hantu itu seperti apa. Yang jelas mereka menengok ke arah hantu.
“Sett …an!” seru Waljini lebih dulu.
“Iyyy-ya!” sambung yang lain. Mereka lupa dengan kisah yang diceritakan Ustadz Cholil tentang setan yang dikerangkeng pada bulan puasa. Tapi mereka masih segera melakukan perlawanan.
“Qul audhu birrobin nas ….!”
“Maliki …naaaas …!”
Mereka membaca surat An-Nas. Sebagai penangkal hantu, yang pernah diajarkan Ustadz Cholil kalau tak bisa baca ayat Qursi. Aku dan Bahrin menahan cekikian. Dan kemudian menjadi sebuah kemenangan manakala mereka berhamburan. Lari pontang-panting.
“Kok hantunya nggak takuuut …!” seru Ipah sambil berlari. Diikuti yang lain.
Sial bagi Waljini. Ia yang rupanya masih ribet dengan baju salatnya, membuatnya terjatuh. Dan ia melolong minta tolong.