GERIMIS tetap mampu mengundang Kromodongso dan tiga kawannya: Asep, Tigor, Daeng. Gardu di sudut itu ramai celoteh mereka walau hanya ditemani singkong rebus. Selain minuman panas yang segera menjadi hangat. Sebelum ditenggak karena dingin. Hawa musim hujanlah penyebabnya.
“Saya ndak ngerti … kenapa selalu ada wanita cantik dalam politik,” desis Kromodongso setelah meletakkan gelas kecil di lepekan kecil berwarna krem. “Apalagi makai pukul-pukul segala.”
Daeng, Asep dan Tigor saling pandang. Dan mereka mencoba menahan diri saja. Karena biasanya lontaran Kromodongso yang bernada bingung akan dijawab sendiri. Hanya semacam jeda sebelum kemudian menganalisa. Dan biasanya cespleng.
“Ndak ada yang nanggepi?” kali ini Kromodongso melirik ke arah Tigor.
Lelaki tinggi gagah dan ganteng yang kerap diidentikkan dengan aktor spesial pemeran antagonis itu menggeleng.
“Berarti ngomongin wanita cantik itu sele ….”
“Jangan!” potong Daeng. “Jangan selesai. Ini asyik. Terusken, Kromodongso.”
Kromodongso tertawa.
“Apalagi kalau ada unsur politiknya,” sambung Asep.
Namun apa daya. Perbincangan itu tetap berputar-putar perihal mata seorang korban, yakni wanita cantik itu. Yang dipukul, entah siapa persis pelakunya.
“Yang apa pun, ia telah terluka ….”
“Aku ingin membelainya, Kromodongso,” ujar Asep.
“Memang aku nggak?” Tigor nyolot.
Kian riuh perbincangan di gardu. Soal korban perempuan cantik berdasarkan pemberitaan yang mereka ikuti. Ketika lewat penjual wedang ronde keliling, Kromodongso sigap memanggil dan berjanji untuk membayarnya.
Ting …ting …ting!
Penjual wedang ronde pun berlalu. Perbincangan masih terus soal wanita cantik yang memar dan memerah di sebagian bola matanya. Dan Kromodongso, mengulasnya bukan seperti politikus yang berwajah tikus. Cerdik sekaligus licik.
“Kalau begitu caranya, mending mereka itu belajar sama Tigor …!”
“Kok aku?”
“Ya, kauajarilah mereka bermain cantik. Ndak asal main tempeleng. Apalagi sampai mengenai bola matanya. Mata indah bola pingpong memerah mana ada indahnya? Ndak canteeeklah itu.”
Tigor garuk-garuk kepala.
Asep dan Daeng tampak senang melihat Tigor kena skak-mat.
“Jadi, jadi ….”
“Iya. Kau ini, ah. Percuma sajalah kau tak mampu mendekati si …siapa …?”
“Parkinson Masalahlu!” sebut Daeng membantu.
“Ya Parkinson Masalahnya ….”
Lalu diuraikan dengan gaya Kromodongso yang kadang kelewat soft. Khas Jawanya, walau ia sebenarnya kelahiran pesisir Pantai Utara Jawa. Pantura.
“Parkinson itu kan penyakit karena sering dipukul, dan menjadikan kepalanya benjut. Lalu menjadi pelupa. Di situlah Masalahnya.”
“Kayak yang menimpa petinju Mohammad Ali.”
Kromodongso menjentikkan jarinya. “Persis. Parkinson, mungkin dulunya orang jalanan. Yang senang main kayu.”
Asep, Daeng dan Tigor manggut-manggut. Membenarkan kata-kata Kromodongso. Masuk akal. Walau kenapa mesti melingkar-lingkar.
“Itu bekal kau mendekati Parkinson, Tigor.”
Tigor manggut-manggut lagi.
“Tak usah kelahilah. Mesti aku yakin kaumenang. Malu awak ini!”
Tigor berdiri. Lalu menghormat.
“Siap. Laksanakan!”
Lalu ia berbalik badan, dan meninggalkan gardu.
“Eh, ke mana?”
“Ya, main pukul sama istrilah!” sahutnya tanpa menoleh ke arah gardu.
Tiga laki-laki di gardu itu hanya geleng-geleng kepala. Menahan gelak tawa yang panjang.
***
Angkasapuri, 2.2.16
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI