Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jonru Mau Pimpin Pantai Beringin

20 Januari 2016   20:09 Diperbarui: 20 Januari 2016   20:12 339
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="foto: news.metrotv.news.com"][/caption]cerpen Thamrin Sonata

“Namanya siapa, Mas?”

“Jonru.”

“Jonru?”

“Iya. Dan jangan panggil saya Mas.”

“Apa mestinya?”

“Bang, boleh.”

“Oh …ya …ya. Nanti kalau datang Tigor, biar dia klop dengan Bung,” ujar Kromodongso mengubah panggilannya pada lelaki itu.

Girimis mulai menipis di sekitar gardu itu. Dan keadaan sepi, pada diam. Padahal ada Asep dan Daeng. Mereka nggak begitu bisa mengajak omong dengan lelaki berkumis dan berkacamata itu. Meski berkesan keras, dan angker namun ia kata-katanya singkat-singkat. Kromodongso pun kewalahan menghadapi lelaki yang sepertinya pernah dilihat tiga langganan gardu itu. Kewalahan dengan sikap asisoalnya lelaki yang menurut mereka aneh. Apalagi bagi lidah Kromongson: Jonru, Jonru. Apa maknanya? Apa pula maksudnya ke gardu?

“Saya ke sini memang sebenarnya hanya perlu dengan Bang Tigor.”

“Iya. Sabar napa?” Daeng yang sebenarnya keras, mulai gerah.

“Saya nggak enak kalau ke rumahnya. Takut istrinya kaget dengan saya.”

“Oh, kenapa?”

“Karena selama ini istrinya menjadi pengikut saya.”

Pengikut apa? Kayak ketua partai saja. Namun sesungguhnya mereka bertiga gak suka dengan lelaki yang mengaku Jonru itu.

Lama hening lagi. Tak juga kunjung nungul tuh Si Tigor. Padahal, tanpa kedatangan Jonru, ia berjanji untuk melanjutkan perbincangan soal hangat wanita yang keracunan nenggak kopi dan lanjut hilang nyawa. Ya, di café elit.

“Tampaknya ada hal penting benar anda untuk ketemu dengan Tigor?” korek Asep, iseng.

“Oya. Sangat!”

“Menyangkut apa tuh?”

“Hal yang sangat legendaris.”

“Legendaris?” serempak Kromodongso, Daeng dan Asep nggembor.

“Ya. Soal Pantai Beringin.”

Mereka saling pandang, dan kemudian fokus ke tampang lelaki yang lebih seneng dipanggil Bang Jonru itu.

“Anda nggak membual, kan?”

“Apa tampang saya tampak begitu?” Jonru balik bertanya.

Kromodongso dehem-dehem. Pertanda ia akan serius. Pertanda itu ia akan menghadapi tamu tak diundang kecuali ingin bertemu dengan Tigor di gardu hanya karena ia takut dikenali istri Tigor. Namun kenapa membicarakan soal Pantai Beringin? Tempat yang …

“Anda tahu Pantai Beringin itu?”

“Sangat. Makanya saya akan mendiskusikan dengan Bang Tigor. Setidaknya, saya akan memimpin ke Pantai Beringin ….”

Mereka manggut-manggut. Takjub dengan niat Jonru untuk ke Pantai Beringin nan angker dan memimpinnya. Di mana sejumlah koruptor hilang tertelan, tak tentu rimbanya. Terutama Seksnov, keturunan Rusia yang belakangan dihebohkan mau mendirikan pabrik minyak goreng.

“Anda ndak takut? Sedangkan Seksnov yang ndak percayaan setan saja sampai hilang di Pantai Beringin itu.”

Terdengar tawa pendek. Garing. Hanya kumisnya yang menye-menye.

“Jangan sebut saya Jonru…!” sergahnya sombong. “Saya ini rajanya setan belis gidis genderuwo pacet monyet degleng dan seterusnya….”

Klakep. Berhenti di situ ketika muncul Tigor. Bahkan ia diam saja ketika kepalanya ditempeleng lelaki yang tegap, ganteng menyerupai aktor terkenal khusus pemeran antagonis.

“Eh, Bang Tigor …!”

“Kudengar sepotong tadi, kau nyebut-nyebut ….”

“Ah, nggaklah, Bang. Itu kan tadi intermeso di dunia kecil di gardu ini. Sedangkan abang kan tahu siapa saya. Yang mengusai dunia medsos.”

Tigor mendengus.

“Tapi kaubenar jadi mau mimpin ke Pantai Beringin?” tanya Tigor langsung.

“Aaaah ….siapa bilang?” katanya mengekeret.

“Lho, kamu mau nemui aku, dan diam-diam di sini ketemuannya untuk apa?” Tigor setengah menghardik. Ia seperti ingin unjuk gigi, terutama pada Kromodongso lelaki yang kerap mematahkan argumentasinya dalam perdebatan di Gardu pada malam hari.

“Ya ….ya ….”

“Apa? Jangan kayak orang lembek punya. Seperti punyamu yang selama ini kutahu. Kau soknya dengan umpet-umpetan.”

Jonru mengusap-usap kumisnya.

“Sebenarnya ….sebenarnya ….”

“Sebenernya apa?” sembur Tigor kian meninggi.

“Saya ….saya ….”

“Apa?” hardik Tigor dengan disaksikan Kromodongso, Asep dan Daeng yang mulai pringas-pringis melihat krupuk tersiram air berlumpur Leksipindos, Lekukan Sinis Penuh Dosa.

“Saya mau hutang….”

Plak! Sebuah tamparan mendarat di pipi Jonru.

“Memalukan saja kau ini, ah!”

Jonru kian ambles krupuknya.

“Pantas saja nggak mau ke rumah kau. Rupanya, takut ditagih istri …”

Jonru yang semula berwajah angker kayak bir, kini tak ubahnya krecek. Kulit sapi yang dimasak hingga lembek kenyel-kenyel. Yang enak digigit ketika makan dalam campuranGudeg, khas makanan Jogja.

***  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun