Ajaib. Dari hasil scan fungsional magnetic resonance imaging (MRI), pada para pembaca itu ditemukan: membaca novel menimbulkan efek di daerah otak yang bertanggung jawab untuk pengolahan bahasa dan kemampuan sensor motorik.
Serangkaian uji coba itu, kian membuktikan. Bahwa hasilnya: ada peningkatan konektivitas di korteks temporal kiri, yang merupakan area otak yang terkait dengan pengolahan bahasa. Berns pun, mewakili teman-temannya, lebih jauh mengungkap penelitiannya itu. “Konektivitas tetap ada meski mahasiswa tidak lagi membaca buku apa pun.” Ya, perubahan saraf bukan merupakan reaksi instan semata, tapi menetap lama jauh setelah kita selesai membaca buku.
Oleh karenanya, jika kita membaca sesuatu yang bersifat “hiburan” dan apalagi kosong-melompong seperti “kisah” portal di awal, hanya senyum kecut barangkali. Sebab tak ada kreativitas yang ditawarkan oleh media – sama teks, sesungguhnya – namun lebih mencari sensasi. Ya, bagaimana tidak bila ada judul serupa, dan hanya mengiming-imingi angan dari sesuatu yang bersifat “khayali”.
Berbeda, tentu dengan novel yang “bertanggung jawab”. Atau dalam bahasa para peneliti itu, membutuhkan narasi yang kuat. Dalam penelitian mereka – Berns dan kawan-kawan – menyimak peningkatan konektivitas di daerah otak yang dikenal sebagai pusat sulkus. Ya, ini daerah sensor motorik otak yang utama, yang berhubungan dengan pembentukan representasi sensasi tubuh.
Jika begitu, membacalah novel yang “baik”. Sebab, menurut Berns lagi, apa yang didapatkan dari penelitian mereka: membaca novel dapat membawa Anda masuk ke dalam tubuh tokoh utama dan otak Anda bekerja selayaknya tokoh itu.
Atau Anda lebih senang masuk ke dalam khayali artis sensual seperti teks di awal? Yang menawarkan “sesutu banget” sepertinya. Saya jadi teringat ucapan WS Rendra: memori seks itu pendek. Nah, lo!***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H