Teks itu pembuka novel Merahnya Merah buah karya Iwan Simatupang. Padat, kuat dan menggambarkan sang tokoh kita, demikian penulis novel Kooong, Kering, Ziarah ini.
Perbedaan dengan Novel
Perbedaan yang menonjol pada teks sastra – saya batasi di sini: prosa, persisnya cerpen atau novel – cenderung kontemplatif. Baik dari Umar Kayam – yang jago untuk menggambarkan suasana – maupun Iwan Simatupang yang piawai dengan absuditasnya, mereka menulis tidak main-main atau mencari-cari – untuk kemudian berbohong – seperti teks pada Jupe di awal tulisan ini.
Dan novel, menurut sebuah laporan terbaru, seperti dilansir jurnal Brain Connectivity: “Cerita membentuk hidup kita dan dalam beberapa kasus membantu seseorang menemukan dirinya. Kami ingin memahami bagaimana cerita itu masuk ke otak Anda, dan apa yang mereka lakukan di sana,” sebut Gregory Berns, penulis dan direktur Emory’s Center for Neuropolicy salah satu peneliti Emory University, Atlanta.
Novel, atau prosa tidak omong kosong, meski kerap diidentikkan oleh yang tidak membaca secara serius: omong kosong. Karena dianggap – istilah WS Rendra: klangenan. Berisi tentang lamunan dan hal-hal yang tak berguna. Sebagai sebuah hal yang sia-sia apabila membaca karya sastra. Apakah itu sebab, Seno Gumira Ajidarma dengan bahasanya dalam karya: Kitab Omong Kosong?
Perihal “omong kosong” cerita semacam ini kerap diidentikkan dengan pengarangnya. Karena fiksi, dianggap, buah dari khayali belaka. Atau pemikiran dan angan-angan gombal pengarangnya. Soal yang membius untuk sebuah cerita kosong melompong. Semestinya tidak. Karena, karya prosa dikarang juga oleh seorang profesor semisal Umar Kayam sendiri atau Iwan Simatupang yang belajar filsafat di Belanda. Dan kita punya pengarang bertitel – yang kerap diemohi sebagai embel-embelnya penulis hebat itu dalam karangannya. Sebab, karyanyalah yang “berbicara” bukan titelnya – semisal Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Saripan Sadi Sutomo, Andi Hakim Nasution, Daoed Joesoef. Dan beberapa penulis bergelar sarjana: Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Wildan Yatim, YB Mangunwijaya, Dewi Lestari sampai Andrea Hirata.
Perbedaan teks di awal tulisan ini dengan karya prosa menjadi sebuah kejelasan, dan sekaligus mencerahkan bagi penggemar karya sastra. Ini masih seperti dikutip dari penelitian serius “dampak” dari sebuah penelitian teks “cerita” di atas, ditambah dengan: “Penting bagi kami memilih buku yang memiliki garis narasi yang kuat.”
Pada karya-karya sastra serius, bisa kita temukan hasil karya tersebut pada pembacanya. Termasuk tentang karakter tokoh-tokoh yang (selalu) diingatnya. Dan, tentu, karya cerita itu sendiri. Alur cerita, konflik dan seterusnya.
Pada penelitian tadi, yang kemudian dikutip Kompas. Com serta Medical News Today, 21 orang mahasiswa diminta untuk membaca “true story” thriller Pompeii, karya Robert Harris (2003), kebetulan saya punya buku terjemahannya. Di mana ada tokoh protagonis di luar Pompeii dalam kisah meletusnya Gunung Vesuvius di Itali kuno. Lalu, tokoh itu menyelamatkan gadis pujaannya untuk kembali ke Pompeii.