Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Julia Perez Versus Novel Serius

5 Januari 2016   10:10 Diperbarui: 5 Januari 2016   17:00 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Sebuah novel berjudul "menggoda". Namun bukan khayali soal hot. (repro: dok TS)

Julia Perez atau yang dikenal Jupe memang seorang penyanyi sekaligus artis yang sangat terkenal di tanah air ini. Mantan istri dari Gaston Castano ini memang memiliki tubuh yang seksi.

Teks di atas saya kutip dari sebuah portal yang menawari sebuah foto sang artis. Tajuknya, jelas, kalau tak ingin disebut vulgar bombastis: Foto Hot Julia Perez, Jamin Hot Banget.  

Lepas dari masalah kemudian, kita tak mendapati foto yang dimaksud dengan “Hot Banget”, teks atau kalimat tersebut khas bahasa “Koran kuning” pada eranya. Yang lebih menonjolkan “isu”nya daripada “isi”. Dan ini bertaburan di era digital dari sebuah era yang mesti bergegas dan bersaing untuk menarik pembaca. Sekali lagi, ini era: media sosial. Tak penting benar soal “kebenaran” dalam teks yang bombastis tersebut. Dan kisah selanjutnya.

Lalu, simak teks berikut ini:

Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.

Meski kalimatnya “mengundang” namun ada suasana dan rangkaian “sebab” dan “akibat” dari pembuka cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan-nya Umar Kayam.

Atau ini, yang agak absurd:

Sebelum revolusi ia calon rahib. Selama revolusi, ia komandan kompi. Di akhir revolusi, dia algojo pemancung kepala pengkhianat-pengkhianat tertangkap. Sesudah revolusi, ia masuk rumah sakit jiwa.

Teks itu pembuka novel Merahnya Merah buah karya Iwan Simatupang. Padat, kuat dan menggambarkan sang tokoh kita, demikian penulis novel Kooong, Kering, Ziarah ini.

 

Tetralogi karya Pramudya Ananta Toer, novel bergizi, tentu (repor: TS)

 

Perbedaan dengan Novel

Perbedaan yang menonjol pada teks sastra – saya batasi di sini: prosa, persisnya cerpen atau novel – cenderung kontemplatif. Baik dari Umar Kayam – yang jago untuk menggambarkan suasana – maupun Iwan Simatupang yang piawai dengan absuditasnya, mereka menulis tidak main-main atau mencari-cari – untuk kemudian berbohong – seperti teks pada Jupe di awal tulisan ini.

Dan novel, menurut sebuah laporan terbaru, seperti dilansir jurnal Brain Connectivity: “Cerita membentuk hidup kita dan dalam beberapa kasus membantu seseorang menemukan dirinya. Kami ingin memahami bagaimana cerita itu masuk ke otak Anda, dan apa yang mereka lakukan di sana,” sebut Gregory Berns, penulis dan direktur Emory’s Center for Neuropolicy salah satu peneliti Emory University, Atlanta.

Novel, atau prosa tidak omong kosong, meski kerap diidentikkan oleh yang tidak membaca secara serius: omong kosong. Karena dianggap – istilah WS Rendra: klangenan. Berisi tentang lamunan dan hal-hal yang tak berguna. Sebagai sebuah hal yang sia-sia apabila membaca karya sastra. Apakah itu sebab, Seno Gumira Ajidarma dengan bahasanya dalam karya: Kitab Omong Kosong?

Perihal “omong kosong” cerita semacam ini kerap diidentikkan dengan pengarangnya. Karena fiksi, dianggap, buah dari khayali belaka. Atau pemikiran dan angan-angan gombal pengarangnya. Soal yang membius untuk sebuah cerita kosong melompong. Semestinya tidak. Karena, karya prosa dikarang juga oleh seorang profesor semisal Umar Kayam sendiri atau Iwan Simatupang yang belajar filsafat di Belanda. Dan kita punya pengarang bertitel – yang kerap diemohi sebagai embel-embelnya penulis hebat itu dalam karangannya. Sebab, karyanyalah yang “berbicara” bukan titelnya – semisal Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Saripan Sadi Sutomo, Andi Hakim Nasution, Daoed Joesoef. Dan beberapa penulis bergelar sarjana: Putu Wijaya, Seno Gumira Ajidarma, Wildan Yatim, YB Mangunwijaya, Dewi Lestari sampai Andrea Hirata.

Perbedaan teks di awal tulisan ini dengan karya prosa menjadi sebuah kejelasan, dan sekaligus mencerahkan bagi penggemar karya sastra. Ini masih seperti dikutip dari penelitian serius “dampak” dari sebuah penelitian teks “cerita” di atas, ditambah dengan: “Penting bagi kami memilih buku yang memiliki garis narasi yang kuat.”

Pada karya-karya sastra serius, bisa kita temukan hasil karya tersebut pada pembacanya. Termasuk tentang karakter tokoh-tokoh yang (selalu) diingatnya. Dan, tentu, karya cerita itu sendiri. Alur cerita, konflik dan seterusnya.

Pada penelitian tadi, yang kemudian dikutip Kompas. Com serta Medical News Today, 21 orang mahasiswa diminta untuk membaca “true story” thriller Pompeii, karya Robert Harris (2003), kebetulan saya punya buku terjemahannya. Di mana ada tokoh protagonis di luar Pompeii dalam kisah meletusnya Gunung Vesuvius di Itali kuno. Lalu, tokoh itu menyelamatkan gadis pujaannya untuk kembali ke Pompeii.

Ajaib. Dari hasil scan fungsional magnetic resonance imaging (MRI), pada para pembaca itu ditemukan: membaca novel menimbulkan efek di daerah otak yang bertanggung jawab untuk pengolahan bahasa dan kemampuan sensor motorik.

Serangkaian uji coba itu, kian membuktikan. Bahwa hasilnya: ada peningkatan konektivitas di korteks temporal kiri, yang merupakan area otak yang terkait dengan pengolahan bahasa. Berns pun, mewakili teman-temannya, lebih jauh mengungkap penelitiannya itu. “Konektivitas tetap ada meski mahasiswa tidak lagi membaca buku apa pun.” Ya, perubahan saraf bukan merupakan reaksi instan semata, tapi menetap lama jauh setelah kita selesai membaca buku.

Oleh karenanya, jika kita membaca sesuatu yang bersifat “hiburan” dan apalagi kosong-melompong seperti “kisah” portal di awal, hanya senyum kecut barangkali. Sebab tak ada kreativitas yang ditawarkan oleh media – sama teks, sesungguhnya – namun lebih mencari sensasi. Ya, bagaimana tidak bila ada judul serupa, dan hanya mengiming-imingi angan dari sesuatu yang bersifat “khayali”.

Ini juga karya monumental: Doktor Zhivago. (repro: TS)

Berbeda, tentu dengan novel yang “bertanggung jawab”. Atau dalam bahasa para peneliti itu, membutuhkan narasi yang kuat. Dalam penelitian mereka – Berns dan kawan-kawan – menyimak peningkatan konektivitas di daerah otak yang dikenal sebagai pusat sulkus. Ya, ini daerah sensor motorik otak yang utama, yang berhubungan dengan pembentukan representasi sensasi tubuh.

Jika begitu, membacalah novel yang “baik”. Sebab, menurut Berns lagi, apa yang didapatkan dari penelitian mereka: membaca novel dapat membawa Anda masuk ke dalam tubuh tokoh utama dan otak Anda bekerja selayaknya tokoh itu.

Atau Anda lebih senang masuk ke dalam khayali artis sensual seperti teks di awal? Yang menawarkan “sesutu banget” sepertinya. Saya jadi teringat ucapan WS Rendra: memori seks itu pendek. Nah, lo!***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun