Mohon tunggu...
Thalita Laudza Winata
Thalita Laudza Winata Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Thalita Laudza Winata itulah nama saya, lahir di Bogor pada tanggal 11 Januari 2000. Saya merupakan Mahasiswi Ilmu Komunikasi Jurnalistik semester tujuh di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Pandai berkomunikasi, kreatif, kritis, inovatif, serta memiliki semangat dan daya juang yang tinggi itulah penggambaran diri saya. Meski, terkadang saya suka terlalu dominan. Menjadi Master of Ceremony merupakan pengalaman serta salah satu profesi saya yang luar biasa, belajar mengatur massa dan acara, serta ditambahkan dengan skill public speaking serta keberanian atas pengambilan keputusan. Selain itu, saya juga merupakan Relawan PMI Kabupaten Bogor yang terbilang aktif dari tahun 2019 hingga sekarang. Banyak hal yang dipelajari dan didapatkan dari pengabdian ini, yakni bisa terjun langsung ke tempat bencana, atau memberikan pelayanan kesehatan, menghibur, belajar dari masyarakat hingga memanusiakan manusia sebagaimana manusia harus dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Gila?

20 Desember 2022   18:52 Diperbarui: 20 Desember 2022   18:59 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat masuk kuliah aku rasa, kejiwaanku sudah menjadi-jadi deh. Sampai suatu ketika aku bertemu dengan seorang laki-laki bernama Tegar, kami dekat dan akhirnya memiliki hubungan. Dia seseorang pahlawan dihidupku, karena ia orang yang sangat peduli dan menerima keadaan kejiwaanku sampai hari ini. Rasanya, kalo bukan Tegar kayanya aku gamungkin mau nikah deh hehe. Saat itu, dihari sabtu pada saat libur kuliah, aku dijak tegar sekedar mengikuti kajian Islam di salah satu Masjid yang ada di Bandung. 

Kajian tersebut bertemekan tentang 'Penyakit Mental dalam Pandangan Islam' sontak aku tertarik karena ingin mendengar, serta mendapatkan ilmu mengenai apa yang aku rasakan saat itu. Namun, bukan ilmu yang aku dapatkan tapi malah suruhan dan terkesan menyudutkan "Makanya sholat, Puasa! Berarti orang yang punya penyakit mental tuh lemah imannya," tegas seorang yang katanya menyandang gelar Ustadz, namun tidak didasarkan oleh ilmu lainnya haha.

Setelah kejadian tersebut, aku malah semakin menjadi dengan mengurung diri di kamar dan selalu mendengar bisikan-bisikan yang kerap mengganggu telingaku. Seperti aku sering merasa ketakutan sebelum tidur karen pasti ada ular di Kasur. Atau aku yang selalu ketakutan ketika ada seorang yang asing berada di dekatku dengan asumsi yang aku punya bahwa dia akan membunuhku. Intensitas berbicara sendiri juga terbilang sangat sering karena beberapa kali aku tiba-tiba merasa kehausan dan mulutku kering.

Tegar terus berusaha menghubungiku, dan sampai suatu ketika aku diajaknya pergi menuju Rumah sakit Hasan Sadikin untuk menemui Psikiater. dr. Palupi dan dr. Arsila adalah dokter pertama yang menanganiku saat aku di diagnosa menderita Skizofrenia dan Borderline Personality Dissorder (BPD). Saat itu aku ingat sekali, aku diberikan obat yang terbilng cukup banyak dan tidak murah. Semenjak itu, aku mulai meneruskan hobbyku yakni menggambar. Namun, kali ini aku mencurahkan diriku sebagai pengidap BPD dan Skizofrenia dalam kanvas serta cat airku. 

Lalu, aku mulai mempublikasikannya lewat akun Instagram diriku, dan sungguh hal yang luar biasa! Karena beberapa dari sesama pengidap- pun mulai intens bahkan sharing sampai suatu ketika aku berkesempatan untuk bisa berkolaborasi bersama dr.Vivi yang merupakan psikiater terkenal.

Dari situlah, sebagai langkah awal aku semakin dikenal oleh kalangan perawat kejiwaan, psikiater, dan juga sesame pengidap. Bahkan, ada yang pernah berbicara kepadaku bahwa "Gambar yang kamu buat ini luar biasa, pengidap skizo dan BPD jarang yang bisa mengekspresikan dirinya seperti kamu," sontak aku merasa itu adalah sebuah kehormatan bagiku. Sampai suatu ketika, aku sedang kehabisan uang untuk membeli obat sehingga malam itu akupun merasakan kembali rasa sakit. 

Setelah sholat maghrib, aku hanya meminta kepada Allah supaya mendapatkan pertolongan dari-Nya dan Qadarullah tiba-tiba ada telpon masuk dari nomor yang tidak dikenal. Ternyata nomor itu adalah Bapak Iwan yang merupakan salah satu Staff di RS Palembang. Rp.500.000,- nominal yang bapak Iwan kirim saat itu, aku bersyukur banget karena ternyata secepat itu doaku dikabulkan.

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya aku mulai menerima diriku yang seperti ini dan mencoba mensyukuri segala hal yang sekarang aku miliki. Karena dengan penyakit ini, ternyata aku bisa bertemu orang yang benar-benar tulus seperti Tegar, Ica, dan juga Guntur sahabatku. 

Selain itu, aku bisa dipercaya mengajar Inggris anak SD, SMP dari rekomendasi Bapak Johan yang ternyata suami dari pengidap yang sama sepertiku. Aku juga sudah menjadi Brand Ambassador aplikasi Riliv atau aplikasi layanan kesehatan mental berbasis tekhnologi yang tentunya atas rekomendasi dari dr.Vivi.

*POV NILAM END*

"MasyaAllah banget perjalanan hidup kamu lam," puji aku kepadanya sambil menepuk pundaknya berkali-kali. "I'm so proud of u Lam!" tambahku dengan disambut tepukan tangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun