Mohon tunggu...
Thalita Laudza Winata
Thalita Laudza Winata Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Thalita Laudza Winata itulah nama saya, lahir di Bogor pada tanggal 11 Januari 2000. Saya merupakan Mahasiswi Ilmu Komunikasi Jurnalistik semester tujuh di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung. Pandai berkomunikasi, kreatif, kritis, inovatif, serta memiliki semangat dan daya juang yang tinggi itulah penggambaran diri saya. Meski, terkadang saya suka terlalu dominan. Menjadi Master of Ceremony merupakan pengalaman serta salah satu profesi saya yang luar biasa, belajar mengatur massa dan acara, serta ditambahkan dengan skill public speaking serta keberanian atas pengambilan keputusan. Selain itu, saya juga merupakan Relawan PMI Kabupaten Bogor yang terbilang aktif dari tahun 2019 hingga sekarang. Banyak hal yang dipelajari dan didapatkan dari pengabdian ini, yakni bisa terjun langsung ke tempat bencana, atau memberikan pelayanan kesehatan, menghibur, belajar dari masyarakat hingga memanusiakan manusia sebagaimana manusia harus dimanusiakan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Aku Gila?

20 Desember 2022   18:52 Diperbarui: 20 Desember 2022   18:59 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu seperti biasa kita pulang dari lokasi pengabdian menuju rumah singgah yang kurang lebih jaraknya sekitar dua kilometer dari tempat kita beristirahat sebagai Mahasiswa yang sedang melakukan Kuliah Kerja Nyata. Hari itu memang cukup melelahkan rasanya karena hari itu merupakan hari ketiga kita membantu perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia yang ke-77 di Kampung Ciwareng, Kabupaten Garut bersama karang taruna disana.

Sampai di Rumah, semua anggota kelompok KKN 39 melakukan kebiasaanya yakni Bagas yang langsung rebahan, para perempuan yang selalu rebutan mengantri kamar mandi, atau petugas piket yang sibuk menyambut dan menata berbagai makanan yang sudah mereka masak. Namun, ada yang berbeda pada malam itu. Tiba-tiba aku mendengar suara tangisan kencang dari balik pintu kamar sebrang "Sakit, sakit, huaaa," teriak seseorang dibalik sana. Seketika semua orang kaget dan berlarian menghampiri sumber tangisan itu. Akupun sontak ikut penasaran dan tanpa sadar ikut berlari kecil untuk mengetahui siapa dan kenapa orang itu menangis.

Dan ternyata dugaanku benar. Ia adalah Nilam Surya, seorang gadis berdarah Minang yang mengidap penyakit mental 'Skizofrenia dan Borderline Personality Disorder (BPD) yang saat ini menduduki bangku kuliah semester tujuh di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Malam itu semua orang disekitarnya terlihat panik, dan saling melirik seolah berisyarat 'harus gimana ini?' sampai pada akhirnya lirikan Ehan, dan Hayya serta yang lainnya jatuh kepada aku seolah-oleh tatapan mereka mengatakan 'Kamu pasti tau cara nolonginnya kan'. Hal itu dikarenakan aku adalah Relawan PMI Kabupaten bogor yang selalu membawa P3K kemana-mana dan mereka berfikir bisa melakukan pertolongan apapun.

Meskipun aku belum pernah mendapatkan kasus seperti ini dalam pertolongan pertama selama aku menjadi relawan atau bahkan aku saja belum pernah diajari materi maupun praktik terkait penyakit mental, tapi dalam hati ini seperti berbicara 'aku akan mencoba sebisaku.' Tanpa butuh waktu lama, aku menyuruh Nisa untuk mencari cara pertolongan penyakit mental yang sedang kambuh di Google.  "Sakit, huaaaa sakiit," tangisan Nilam pun semakin meneyeruak disambil dengan pukulan-pukulan yang ia jatuhkan ke dadanya. 

Akupun sontak dengan segera membuka kerudungnya, menghindarkan barang-barang yang sekiranya dapat melukainya seperti jarum, peniti yang ada disekitarnya. Kemudian, perlahan aku tanya dengan lembut "Nilam kenapa?," tanyaku sambil mengelus punggungnya perlahan. "Sakit, Thal," jawabnya sambil terus menangis. Nisa yang sedari tadi sibuk melihat gawainya tiba-tiba menyodorkan hasil pencariannya terkait 'penanganan penyakit mental yang kambuh' disana tertera perintah yang menyebutkan harus mengalihkan focus korban atau rasa sakitnya dengan hal lainnya.

"Nilam, mau tulis ga cerita rasa sakitnya," tanya Nisa sambil sesekali melihat layar hape yang ada di sebelah kiri tangannya. Nilam menggeleng dan masih terus menangis, "Kalo menggambar?," tanya lagi Nisa yang saat itu malah disambut dengan keheningan dan seketika Nilam malah berbicara sendiri dengan nada cepat.

Ya, aku ingat Nilam pernah cerita waktu diawal pertama kali kita ketemu di Chawa Caffe "Aku pengidap BPD sama Skizo, sering Cutting kalo lagi kambuh sama jangan kaget ya kalo aku suka ngomong sendiri," celetuk Nilam setelah memperkenalkan dirinya. Aku juga pernah tanya alasan dia punya penyakit mental karena masa lalu waktu kecil yang selalu di Bully dan diasingkan. Seketika tanpa berfikir lagi aku langsung bertanya "Kamu lagi inget masa kecil kamu ya Lam? Gara-gara tadi kamu lihat anak-anak pas agustusan ya?" tanyaku sambil menatap Nilam yang penuh dengan linangan air mata.

Ia mengangguk namun masih terus menangis. Putri yang melihat jawaban itu, sontak langsung melebarkan dua tangannya sambil menawarkan "Mau peluk?," dan seketika disambut baik dengan penerimaan Nilam yang memeluk Putri dengan erat sambil menangis sejadi-jadinya. Sampai akhirnya tangispun pecah, aku dan Putri hanya bisa mengelus punggung dan kepalanya sambil berkata "Gapapa nangisin aja Lam, biar rasa sakitnya reda".

Sekitar butuh waktu kurang dari lima menit, tangis Nilam mulai reda dan tersadar bahwasanya ia habis kambuh. "Ih aing kenapa?" tanyanya seolah-olah lupa detik sebelumnya apa yang ia rasakan. Lalu, kita menceritakan apa yang terjadi dan menyuruhnya untuk segera minum obat setelah makan.  Alhasil, kita berhasil menenangkannya dan langsung mengajaknya untuk segera makan malam.

Keesokan harinya, merupakan hari tenang bagi kita karena tidak ada kegiatan yang terjjadwal di hari itu. Teman-teman KKN yang lainnya pun sangat senang sekali melakukan hari tenangnya dengan rebahan, telponan, pulang ke Bandung, atau nonton film bersama. "Kita nonton film yuk? Mumpung ada infocus desa hehe," celetuk laki-laki bermata sipit dan berkulit putih dengan senyuman khasnya. "Ide bagus tuh Ei! Movie timeeee!!," jawab Ehan tak kalah semangat.

 Nilam yang baru saja mendengar ide tersebut terlihat menoleh dan seketika "Kita nonton film black phone aja yaa," kata Ei sambil memperihatkan cover film thriller tersebut. Sontak mataku membulat, bagaimana bisa mereka menonton film thriller cerita pembunuhan dan pembullyan di depan Nilam yang baru saja kambuh tadi malam. 

"Nilam, kita kedepan yuk! Aku mau ceritaaaa tau," ajaku kepada seorang perempuan berkaca mata didepanku. Nilam pun mengikutiku dan kita mulai mengobrol bersama. Sampai suatu ketika ia menceritakan masa lalunya yang sangat kelam.

*POV Nilam Surya*

Diliat dari latar belakangku ternyata aku menyadari bahwa keluargaku tidak harmonis, dan aku menyadari itu dari teman-teman semasa SD dulu. Ketika teman-temanku terlihat bahagia dijemput ayah atau ibunya pada saat waktu pulang sekolah dengan tepat waktu atau ketika mereka diperlakukan dengan lemah lembut penuh kasih sayang. Hal tersebut tidak dirasakan olehku, aku justru selalu diperlakuan sebaliknya baik dari sikap maupun omongan oleh orangtuaku yang terkesan selalu membanding-bandingkan bahkan tak jarang cambukan atau pukulan kerap hadir di hidupku. Bukan hanya keluargaku, tetapi lingkungan sekitar yang selalu memperlakukanku tidak baik atau bisa disebut dalam Bullying.

Saat itu aku masih dibangku sekolah dasar yang jarak antara rumah dan sekolah sekitar sembilan kilometer. Aku selalu dijemput oleh orangtuaku di sore hari meski jam pulang sekolah di siang hari sehingga memaksa aku menunggu cukup lama sampai seringkali ditegur oleh walikelas seperti ini "Nilam, kenapa sih jam segini belum pulang? disini kan sekolah mau ditutup!" celetuk wali kelasku sambil menatap sinis ke arahku yang saat itu sudah menunggu cukup lama di depan pagar sekolah. Saat itu  aku juga terbilang masih kurang dalam hal akademiknya, baik dari segi matematika ataupun membaca. Sehingga, membuat para Ibu guru atau teman-teman lainnya merendahkan atau bahkan menggunjing kebodohanku.

Ibu Nia adalah wali kelasku dibangku kelas dua dan tiga sekolah dasar. Ia merupakan guru yang selalu terlihat pemarah, provokator, serta bisa dibilang tidak dewasa. Suatu kisah pada saat itu hari Rabu saat jam pelajaran olahraga dimana Sofi dan Caca ini sedang bertengkar sebagai teman bak masakan tanpa garam yang artinya sangat sering dilakukan oleh mereka. Namun, Sofi sebagai anak kelas dua SD pada saat itu memintaku dan Sazkia  selaku teman sebayanya untuk tidak menemani Caca.

"Lam, aku mau membuat surat sumpah-sumpahan yang nantinya itu tuh bilangnya dari Caca," tegas Sofi kepada Nilam saat tahu bahwa Sazkia pulang karena sakit demam saat itu. Akhirnya rencana Sofipun diiyakan oleh Nilam dengan membuat surat berisi sumpah serapah mendoakan sakitnya semakin parah kepada Sazkia. Pada saat surat sudah selesai dibuat dan akan ditaruh ke bangku Caca, Sofi malah berbicara kepadaku seperti ini "Lam suratnya taro di kamu deh," celetuknya sambil seraya berlari keluar kelas. 

Anehnya, setelah itu aku melihat mereka yakni Sofi dan Caca bersama kembali dan malah terkesan Nilam yang bersalah sampai-sampai Sofi menelpon bapaknya seperti ini "Eh ini bapakku mau ngomong sama kamu, kamu tuh tadi nyuruh-nyuruh aku bikin surat nyumpahin Sazkia kan?" lontaran kalimat mengadu informasi yang membalik fakta oleh seorang anak kecil yakni Sofi. Bagaikan 'Buah Jatuh tak Jauh dari Pohonnya' ya! Itu yang sangat amat pantas pada situasi ini, dan pada akhirnya Bapaknya Sofi menjawab di telpon dengan keras seperti ini kepadaku "Anak Anjing kamu ya! Ngapain kamu fitnah-fitnah anak saya seperti itu?".

Setelah percakapan itu surat tersebut dikasih ke Ibu Nia dengan memfitnahku sebagai pelakunya, dan kalian tau respon Bu Nia gimana? Ya! Ia  malah mempermalukanku dengan cara membuat pengumuman sekolah yang terdengar seperti ini "Sazkia masuk rumah sakit, mohon doanya ya soalnya ini gara-gara sumpah Nilam," haha gokil bukan? Tidak berhenti sampai disitu, pada saat les bersama usai-pun dengan santainya ia berbicara "Kalian pokonya jangan temenan sama Nilam ya. Nilam tuh anak nakal, jangan duduk bareng, main bareng, atau kalo jajan jangan makanannya sama,"  celotehan  seorang guru tapi seperti tidak pantas untuk digugu dan ditiru. 

Ditambah ada suatu kejadian saat pelajaran menggambar pada hari itu, tiba-tiba Rizka seorang anak yang cerdas merobek kertas gambar miliku seraya teriak "Ih Nilam ngikutinn gambar Rizka" dengan polosnya aku menangis. Namun, tak ada seorangpun yang membantu menenangkanku.

Aku tidak memiliki siapapun saat itu, aku hanya sibuk dengan mengurusi tiga adiku sehingga tidak bisa fokus dan tidak menyadari bahwa aku mulai berbicara sendiri. Sampai suatu ketika pada saat kelas empat SD ketika aku sedang bersama kakaku "Ih, ngomong sendiri kaya orang gila," celetuknya yang meilihat diriku berbicara sendiri tanpa ada obrolan darinya. Hal itu yang membuatku merasa berbeda dari yang lain dan saat itu mencap diri sebagai 'Orang Gila'.

Bukan hanya sekedar Bullying  secara verbal tapi secara fisik juga aku rasakan. Aku pernah disiram oleh minuman teh poci bekas mereka minum saat jam istirahat, atau pasir yang ada di samping sekolah juga pernah menyentuh tubuhku. Selain itu, suatu hari di siang hari menuju sore di Kolam Renang dekat Sekolah, tiba-tiba aku ditarik dan diajak main sama Yasilla dan Keyko pada saat itu, wajah kebingungan serta harapan datang kepadaku dengan bergumam kepada diri sendiri "Loh kok, aku diajak main? Ihh tumben."

Namun, harapanku kandas  begitu saja karena aku malah ditenggelamkan ditengah kolam renang dan langsung ditinggalkan begitu saja, beruntungnya aku masih bisa kembali keatas setelah berusaha dengan segenap jiwa raga, kalo engga kayanya aku ga mungkin cerita ini deh.

 Sosial media juga menjadi salah satu hal yang malas aku buka, karena disana aku juga sering di Bully dengan berbagai hujatan Body Shamming yang biasanya dilontarkan oleh seseorang yang aku benci sampai saat ini, mereka adalah Badar dan Arif. "Dasar Item, Jelek," tulisan komentar yang memenuhi beranda Facebookku yang tak lain-tak bukan pelakunya adalah mereka.

Kehidupanku saat sekolah dasar cukup membuatku merasa seperti orang gila yang kesepian, sehingga pada saat masuk ke Sekolah Menengah Pertama aku berencana merubah kepribadian untuk menjadi seorang yang kuat agar orang lain tidak berani merendahkan dan menggangguku. Namun, hal ini justru membuat aku menjadi sedikit keras kepala, egois dan mulai merasakan gangguan emosional. Terbukti baru saja dua minggu aku bersekolah, aku langsung mendapatkan panggilan guru Bimbingan Konseling karena berbagai masalah. 

Namun, pada saat SMP inilah aku mulai memiliki teman dekat yakni Oca, Answi, dan Aulia. aku juga mulai aktif disalah satu ekstra kurikuller bernama 'Disiplin'. Sehingga memaksaku menjadi seseorang yang idealis serta tegas untuk bisa membantu siswa lainnya menaati peraturan. Sehingga banyak teman-teman yang tidak suka denganku.

Selain itu, aku juga mengikuti kegiatan di luar kelas yakni 'Karate', saat dikarate aku memiliki hal-hal yang hampir sama dengan kisah sebelumnya. Bima yang merupakan teman Karateku yang selalu iri kepada segala pencapaianku atau ia yang selalu berlagak 'si paling' dalam segala hal. Bima ini memiliki ayah yang notabbennya adalah pemiliki sanggar Karate  dengan didampingi oleh Si Han, sensei Iman, dan Sensei Firman. Dengan segala permasalahan legalitas tempat Karate membuatku dan teman-teman lainnya keluar dari tempat tersebut. 

Hal ini membuat Bapak Bima marah dan menyudutkan aku seolah-oleh akulah provokatornya. Bukan hanya kata-kata yang menyakitkan, bahkan ilmu hitam pun sudah kuterima dari Bapak Bima dan Si Han. Diasingkan pada saat perpisahan sekolah merupakan penutupan masa SMP yang membuatku semakin menjadi, aku mulai sukar bersosialisasi, bahkan tingkat bicara sendiri sudah semakin menjadi sampai fluktuasi emosi yang tak terbendung lagi.

Lagi-lagi aku mau merubah diriku saat masuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan style yang berbeda, saat itu aku memakai baju Syar'I agar terkesan memiliki pribadi yang baik. Bukan pujian, malah ujian kembali yang aku dapatkan. Aku malah sering disebut dan diteriaki "Syiah," oleh Gilang teman sebangkuku. Ataupun aku sangat diasingkan seperti seorang teroris yang dipandang aneh oleh teman-teman se-angkatanku. 

Pada saat inilah aku menjadi semakin parah dengan kondisi yang sangat sering berbicara sendiri, emosi yang tidak stabil, kesepian, sulit senyum sampai suatu ketika pada saat jam pelajaran sunda "Senyum dulu atuh Lam," celetuk Ibu Yuyun sambil mengerutkan dahi. Hal yang sama juga terjadi kembali yakni Perpisahan SMA yang ternyata wajib diikuti, aku malah diasingkan, dijauhi, dan direndahkan, kayaknya lama-lama aku udah bersahabat deh sama kebiasaan ini.

*POV NILAM END*

"Demi apa?!" kataku sambil tercengang mendengar cerita seseorang yang luar biasa gila. "Jadi, itu hal yang jadi pemicu kamu punya penyakit mental Lam?" sambungku sambil bertepuk tangan karena terlalu bersemangat mendengar cerita Nilam. "Yaa begitu deh.." jawabnya dengan nada yang sedikit di ayun, "Ya, tapi terlepas dari gen mamaku yaa," celetuknya sambil menyeruput energen yang baru saja disiapkan oleh petugas piket. "Terus, teruss gimana kelanjutannya sampe kamu tau" pungkasku dengan semangat ingin mendengar cerita kelanjutannya.

*POV NILAM*

Saat masuk kuliah aku rasa, kejiwaanku sudah menjadi-jadi deh. Sampai suatu ketika aku bertemu dengan seorang laki-laki bernama Tegar, kami dekat dan akhirnya memiliki hubungan. Dia seseorang pahlawan dihidupku, karena ia orang yang sangat peduli dan menerima keadaan kejiwaanku sampai hari ini. Rasanya, kalo bukan Tegar kayanya aku gamungkin mau nikah deh hehe. Saat itu, dihari sabtu pada saat libur kuliah, aku dijak tegar sekedar mengikuti kajian Islam di salah satu Masjid yang ada di Bandung. 

Kajian tersebut bertemekan tentang 'Penyakit Mental dalam Pandangan Islam' sontak aku tertarik karena ingin mendengar, serta mendapatkan ilmu mengenai apa yang aku rasakan saat itu. Namun, bukan ilmu yang aku dapatkan tapi malah suruhan dan terkesan menyudutkan "Makanya sholat, Puasa! Berarti orang yang punya penyakit mental tuh lemah imannya," tegas seorang yang katanya menyandang gelar Ustadz, namun tidak didasarkan oleh ilmu lainnya haha.

Setelah kejadian tersebut, aku malah semakin menjadi dengan mengurung diri di kamar dan selalu mendengar bisikan-bisikan yang kerap mengganggu telingaku. Seperti aku sering merasa ketakutan sebelum tidur karen pasti ada ular di Kasur. Atau aku yang selalu ketakutan ketika ada seorang yang asing berada di dekatku dengan asumsi yang aku punya bahwa dia akan membunuhku. Intensitas berbicara sendiri juga terbilang sangat sering karena beberapa kali aku tiba-tiba merasa kehausan dan mulutku kering.

Tegar terus berusaha menghubungiku, dan sampai suatu ketika aku diajaknya pergi menuju Rumah sakit Hasan Sadikin untuk menemui Psikiater. dr. Palupi dan dr. Arsila adalah dokter pertama yang menanganiku saat aku di diagnosa menderita Skizofrenia dan Borderline Personality Dissorder (BPD). Saat itu aku ingat sekali, aku diberikan obat yang terbilng cukup banyak dan tidak murah. Semenjak itu, aku mulai meneruskan hobbyku yakni menggambar. Namun, kali ini aku mencurahkan diriku sebagai pengidap BPD dan Skizofrenia dalam kanvas serta cat airku. 

Lalu, aku mulai mempublikasikannya lewat akun Instagram diriku, dan sungguh hal yang luar biasa! Karena beberapa dari sesama pengidap- pun mulai intens bahkan sharing sampai suatu ketika aku berkesempatan untuk bisa berkolaborasi bersama dr.Vivi yang merupakan psikiater terkenal.

Dari situlah, sebagai langkah awal aku semakin dikenal oleh kalangan perawat kejiwaan, psikiater, dan juga sesame pengidap. Bahkan, ada yang pernah berbicara kepadaku bahwa "Gambar yang kamu buat ini luar biasa, pengidap skizo dan BPD jarang yang bisa mengekspresikan dirinya seperti kamu," sontak aku merasa itu adalah sebuah kehormatan bagiku. Sampai suatu ketika, aku sedang kehabisan uang untuk membeli obat sehingga malam itu akupun merasakan kembali rasa sakit. 

Setelah sholat maghrib, aku hanya meminta kepada Allah supaya mendapatkan pertolongan dari-Nya dan Qadarullah tiba-tiba ada telpon masuk dari nomor yang tidak dikenal. Ternyata nomor itu adalah Bapak Iwan yang merupakan salah satu Staff di RS Palembang. Rp.500.000,- nominal yang bapak Iwan kirim saat itu, aku bersyukur banget karena ternyata secepat itu doaku dikabulkan.

Waktu terus berjalan, sampai akhirnya aku mulai menerima diriku yang seperti ini dan mencoba mensyukuri segala hal yang sekarang aku miliki. Karena dengan penyakit ini, ternyata aku bisa bertemu orang yang benar-benar tulus seperti Tegar, Ica, dan juga Guntur sahabatku. 

Selain itu, aku bisa dipercaya mengajar Inggris anak SD, SMP dari rekomendasi Bapak Johan yang ternyata suami dari pengidap yang sama sepertiku. Aku juga sudah menjadi Brand Ambassador aplikasi Riliv atau aplikasi layanan kesehatan mental berbasis tekhnologi yang tentunya atas rekomendasi dari dr.Vivi.

*POV NILAM END*

"MasyaAllah banget perjalanan hidup kamu lam," puji aku kepadanya sambil menepuk pundaknya berkali-kali. "I'm so proud of u Lam!" tambahku dengan disambut tepukan tangan.

"Ya, meski masih suka kambuh kaya orang gila kadang. Tapi, aku selalu punya motivasi hidup! Meski hidupku cuma untuk makan Mie Gacoan besok, atau untuk sekedar Minum Kopi, atau hal-hal lainnya," jawab Nilam sambil diakhiri oleh ketawanya yang lucu.

======================= END =============================

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun