Mohon tunggu...
Thaha Rohmatun Aulia
Thaha Rohmatun Aulia Mohon Tunggu... Jurnalis - @thahara

Nature~

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ikhlas yang Menjadi Tujuan

5 Maret 2020   23:01 Diperbarui: 5 Maret 2020   23:18 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende


"Bandung memberi kenangan yang tak pernah bisa aku lupakan"

***
"Ikhlas yang menjadi tujuan"
Prolog
 
 Menjumpai bulan ke tiga, hari ke 61 dari 366 hari telah aku lewati, semua berlalu begitu cepat, aku harus meninggalkan kota Jakarta. Kini aku berada di kota kenangan yaitu kota Bandung, aku baru menginjak kota Bandung. Ini pertama kalinya, tapi ada perasaan aneh saat menginjakan kakiku di kota ini. Ah rasanya lega, tapi aku tidak tahu perasaan lega ini karena apa.

Hidup begitu berat untukku, gadis berumur 17 tahun, sudah merasakan perihnya di tinggalkan. Bandung memberi kenangan yang begitu dalam, beberapa pergi memang tak selalu ingat pulang. 

Entah bagaimana bisa Bandung bisa semenenangkan itu, semua rasa sedih, rasa kehilangan, rasa perih yang begitu dalam, Bandung bisa memberi rasa tenang. Orang-orang tidak pernah paham bagaimana rasanya jadi aku, rasanya di tinggalkan, rasanya sendirian, hanya aku dan Tuhan.

Hal-hal kecil yang aku lakukan terekam jelas di kota Bandung ini. Terimakasih Bandung, atas semuanya. Bandung tidak seburuk yang aku kira.
 Sama seperti pelajaran, Hidup tak pernah membuat aku paham.

***
 Namaku Alexa Viore Neill, aku anak dari Wade Neill dan Namira Adriani. Papaku adalah seorang perwira di kemiliteran. Papa bilang, menjadi perwira bukanlah keinginannya. 

Menjadi perwira adalah impian almarhum kakekku. Saat itu kakek sedang sakit keras, dokter bilang usia nya tidak akan lama karena ia mengidap penyakit jantung. Semua berlalu begitu cepat, Kakek di panggil oleh yang mahakuasa. Pesan terakhir kakek kepada Papa, kakek berharap kelak papa bisa menjadi perwira. 

Sedangkan Bundaku, ia tidak berkerja. Setiap kali Bunda meminta izin untuk kerja dengan alasan 'bosan di rumah'  Papa selalu menolak. Papa bilang, biar aku saja yang mencari nafkah, kau cukup tenang saja di rumah, tunggu aku pulang. Ah, mengingat hal itu membuat aku senyum-senyum sendiri. Kurasa, Papa adalah lelaki yang sempurna. 

Hal-hal kecil yang Papa lakukan selalu membuat bunda tersenyum. Bunda beruntung mendapat Papa. Hal-hal kecil yang di lakukan Papa bisa membuat bunda tersenyum. Aku rasa mereka cocok, mereka satu pemikiran, sama sama dewasa dalam menghadapi masalah.

Mengingat Papaku adalah perwira, yang berpindah-pindah tugas, terpaksa aku harus ikut Papa. Mendengar aku harus meninggalkan Jakarta, aku terkejut. Apa bisa aku meninggalkan semua yang ada di kota ini,semua berat. Tapi aku selalu ingat kata seseorang, katanya 'jangan berlebihan sedih ada habisnya, senang ada akhirnya.'

Aku harus bisa mengikhlaskan, hidup kan perkara mengikhlaskan. Aku sempat menolak Papa dan mencoba membujuk Papa agar aku tetap tinggal dijakarta, tapi Papa menolak keras, katanya aku harus tetap ikut Papa. Aku bukan tidak mau pindah ke bandung, tapi aku tidak rela meninggalkan Jakarta dengan semua kenangannya. Jakarta sudah melekat erat di hidupku.

"Pa, ini mendadak banget buat aku, aku harus ninggalin Jakarta?" Jujur, aku baru di beri tahu tadi oleh Papa, ini sangat mendadak.
"Iya papa tahu kamu sedih, tapi papa harus pindah tugas."
"Pa, tapi aku bisa kan tinggal di rumah Tante Marissa--" Belum sempat aku meneruskan kalimatku, Papa sudah memotongnya.
"Tidak bisa, Lexa. Kamu harus papa pantau, ya memang sih papa bertugas, tapi setidaknya papa bisa mendapatkan informasi dari bundamu" Papa kembali menolakku.

Ah sudahlah, rasanya percuma aku menolak, tidak ada gunanya juga kan. Aku tahu ini berat, aku pasrah, tidak peduli bagaimana kedepannya, tapi jujur aku hanya ingin pulih, kuat di dadaku.

"Iya yaudah terserah Papa aja."

***

Hari ini Lexa terakhir sekolah, Lexa di antar oleh Wade.

"Kamu sudah memberi tahu teman-temanmu?" Tanya Wade sambil keluar dari mobil.
"Iya udah Pah."
"Gimana reaksi mereka? Marah?" Wade merangkul Lexa lalu mengajaknya ke ruang kepala sekolah.
"Iya Pah, tapi Lexa udah ngasih pengertian kok ke mereka, Lexa udah ngasih penjelasan yang bisa bikin mereka ngerti." Lexa memeluk pinggang Wade.
"Yaudah deh, maafin Papa ya, gara-gara Papa kamu jadi pindah ke Bandung."
"Iya Lah gapapa kok, papa ga salah."

Setelah beberapa jam, surat-surat kepindahan Lexa sudah di urus. Wade masih ada di ruang kepala sekolah, mereka masih berbincang. Lexa segera menemui teman-temannya yang ada di kelas. Mereka semua sedih akan kepindahan Lexa yang begitu mendadak, beberapa teman dekat Lexa marah, tapi tidak marah yang benar-benar marah, tapi hanya kesal.

"Ini terlalu mendadak, kita semua kaget, kita pasti bakal sedih banegt." Salah satu teman kelasnya. Mereka semua mengangguk, setuju dengan apa yang di katakan oleh seorang temannya itu.
"Sama aku juga sedih, kalian bisa bayangin, kalian semua cuma kehilangan satu orang yaitu aku, sedangkan aku? Kehilangan tiga puluh lima orang sekaligus dalam satu hari. Kebayang kan bagaimana sakitnya, bagaimana rasa kehilangan nya. Ini terlalu mendadak, tapi emang hidupkan perkara meleoaskan, mengikhlaskan. Kalau semua udah waktunya kan, kita pasti baik-baik aja." Lexa memeluk temannya satu persatu.

Sebelum Lexa pulang, teman-temannya meminta foto bersama agar masih punya kenangan bersama. Setelah berfoto, Lexa di jemput oleh Wade, dan mereka berjalan ke parkiran untuk pulang.

***
 Sampai di rumah aku tidak langsung tidur atau melakukan aktivitas aoapun, aku menemui bunda dulu.
"Bun, semua udah beres?" Aku mengambil gelas lalu menuangkan air ke dalamnya.
"Iya udah Lex, kamu ke atas aja sana." Bunda menyuruh ku ke atas.
"Iya deh Bun, aku ke atas dulu ya." 

Aku menaiki satu persatu anak tangga, lalu menuju pintu dengan tulisan yang menggantung kamar Lexa aku tersenyum melihat itu, tulisan itu ku tulis saat umur 9 tahun. Aku masih ingat betul. Aku membuka kamar itu, yang tersisa hanya kasur di sana, dan masih ada beberapa foto polaroid yang menggantung di dinding kamar. Foto itu sengaja tidak aku bawa, rumah ini milik Papa, jadi kapan pun aku bisa mengunjungi rumah ini.

Waktu terus berjalan, dan tidak terasa hari sudah pagi pagi, dan keluarga Neill berangkat ke Bandung. Lexa tersenyum lagi, oke kali ini ia harus bisa mengikhlaskan. Saat Lexa hanyut dalam lamunan nya, ponsel Lexa berdering menandakan ada telepon masuk.

"Angkat dulu, Lexa. Siapa tahu penting." Namira menyuruh anak perempuan nya untuk segera mengangkat teleponnya itu.

"Iya hallo, kenapa?" Lexa berbicara ketika telepon nya sudah tersambung dengan orang di sebrang sana.
"Kalau udah sampai kabari aku ya." Suara berat itu keluar begitu saja.

Lexa berdeham kecil.
Lalu sambungan terputus.

"Dasar tidak pernah berubah, orang belum bicara udah di matiin gitu aja." Lexa berbicara pelan.
"Siapa, Lexa?" Tanya Wade yang masih fokus menyetir.
"Dewa, Pah. Anaknya Om Samudera." Pipi Lexa memerah, membuat Wade menggoda anak satu-satunya itu.
"Anak papa sudah besar, gimana? Sudah sedekat apa kalian?" Wade menggoda Lexa.
"Apa sih pah, kan Lexa temenan sama Dewa." Pipi Lexa semakin memerah.
"lho, papa kan ga bilang kalian ga temenan, papa hanya bertanya sudah sedekat apa?"
"Sudah, sudah. Lihat tuh Pah, pipi Lexa sudah memerah." Namira menyudahi perdebatan itu.

***
Aku sudah sampai di Bandung, ternyata tempat nya dingin. Aku duduk di hadapan sosok laki-laki yang bertubuh tegap, berkulit putih, dengan mata yang menyorot tajam. Iya, lelaki itu Dewa. Sedari tadi lelaki ini hanya memandangiku tanpa berniat bicara atau melakukan apapun. Udara semakin dingin, aku menggenggam cangkir yang berisi teh hangat.

"Kenapa sih ngelihatinnya gitu banget. Ada yang aneh sama muka aku?"
Dewa hanya diam, tidak mengeluarkan sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Matanya masih menatap ke arahku.
"Dewa, ih. Kenapa?"
"Kangen"

Astaga, aku kira dia akan bicara apa, tidak tahunya ia mengatakan 'kangen'
Jangan sampai ia tahu jantung ku berdetak kencang.

Dewa memberikan jagung bakar yang sudah ia tiup sebelumnya padaku. Aku menolak, karena aku takut jagung itu masih panas.

"Makan. Udah ga panas." Dewa menempelkan jagung itu pada mulutku. Ah iya, benar. Jagung nya tidak panas. Aku menerima lalu menggigit nya kecil.
"Besok aku jemput ya." Kata Dewa sambil memakai jaket nya.
"Mau kemana?" Tanya ku bingung.
"Ke sekolah baru, papa kamu kemarin nyuruh aku buat nemenin kamu."
Aku mengangguk kecil.
"Masuk sana, aku pulang dulu "

Sampai akhirnya Dewa menghilang dari pandangan ku.
 Aku masuk ke dalam rumah, entah kenapa dari tadi aku kepikiran Papa, rasa nya aneh seperti tidak ingin jauh dari papa, tidak ingin papa pergi. Kenapa semua terasa berat ya.

***
Pagi ini Namira pergi ke rumah kerabatnya, mereka sudah membuat janji. Maka dari itu terpaksa Lexa harus menunggu Dewa sendirian di gerbang rumahnya.
 Suara klakson motor terdengar, ia menoleh ke samping dan benar Dewa sudah datang, Lexa pikir Dewa akan lupa, ternyata tidak.

"Wa" panggil Lexa setelah Dewa membuka helm nya.
"Iya?"
"Kenapa perasaan aku dari semalam ga enak ya."
"Kepikiran siapa?" Tanya Dewa.
"kepikiran Papa, dari kemarin gelisah banget."
"udah berdoa?"

Lexa mengangguk.

"Berdoa lagi sekarang."

Lexa menurutinya, dan Dewa tersenyum kecil. Dewa kan hanya bercanda tapi Lexa benar-benar melakukannya.
Lexa membuka mata, lalu pandangannya bertemu dengan Dewa. Lagi-lagi Dewa tersenyum kecil.
Handphone Dewa berdering, ia mengeluarkan ponselnya itu tadi kantong celananya. Keningnya berkerut.
tumben banget. Pikir dewa, setelah melihat siapa penelepon itu.

"Iya halo, ada apa Om?" Dewa bertanya setelah telepon itu terhubung.
"Dewa, Om wade, Wa." Ucap Om Alex. Iya penelepon itu ialah Om Alex. Om Alex adalah kerabat dekat nya papa nya Dewa dan Alexa.
"Kenapa om?" Dewa semakin penasaran, karena ia bisa mendengar sendiri nafas gusar Om Alex
"Om Wade, gugur. Ia gugur. Biasanya ia selalu berhasil dalam menjaga wilayah, tapi kali ini gagal wa. Om bingung, harus memberitahu siapa. Tadi Om sudah hubungin istrinya wade, tapi beliau tidak aktif." Kata Om Alex panjang lebar.

Dewa paham betul apa yang di maksud oleh Om Alex. Gugur, Om Wade sudah tiada. Dewa melirik sebentar ke arah Lexa, ternyata Lexa juga sedang menataonya, seolah tahu yang sedang di bicarakan adalah papanya sendiri.

Sambungan telepon terputus. Belum sempat Lexa bertanya, Dewa langsung memeluk erat Lexa seolah memberi kekuatan. Lexa ingin beeranya tapi mulutnya tidak bisa ia gerakkan, Dewa mengajak masuk Lexa ke dalam rumah keluarga Neill. Dewa menghubungi Namira, agar ia tahu kabar duka ini
Setelah menunggu beberapa menit, Namira datang, Dewa langsung memeluk Namira, membisikkan kalimat yang membuat Namira kaget, rasanya waktu berhenti dan dunia berhenti berputar. Tolong beri tahu Namira kalau ini hanyalah mimpi.

"Tante, Om Alex tadi mengabari Dewa, katanya Om Wade gugur. Tante yang kuat. Tante liat Alexa, Tante harus kuat. Dewa belum beri tahu hal ini pada Alexa, Dewa tidak tega Tante, Dewa takut. Sekarang Dewa akan beri tahu, kuatkan diri Tante dulu." Bisik Dewa.

Dewa dan Namira melirik ke arah Akexa, disana Lexa menggeleng kuat-kuat seolah tahu apa yang terjadi. Dewa dan Namira tidak tega melihatnya. Ini bukan keinginan mereka. Tapi ini sudah takdir Tuhan.

Dewa menghampiri Alexa, dan berlutut di hadapan Lexa yang duduk di sofa. Dewa mengambil kedua tangan Lexa dan menggenggam nya.

"Alexa, kamu dengerin aku baik-baik." Kata Dewa.

Alexa menatap mata Dewa, menggeleng kecil. Seolah memberi tahu jangan katakan hal itu.

"Papamu gugur--"

Lexa menarik tangannya, namun hal itu di tahan oleh Dewa.

"Dengarkan dulu." suara berat Dewa seolah oleh mengintruksikan Lexa.
"papamu gugur, kamu harus kuat Lexa. Semua berlalu begitu cepat. Kamu ingat? Saat kamu pindah ke Bandung, papamu cerita ke aku, katanya teman teman mu hanya kehilangan satu orang dalam hidupnya, yaitu kamu. Sedangkan kamu, kehilangan mereka sekaligus. Sekarang keadaan terbalik Lexa, kamu jangan sedih. Papamu kehilangan banyak prajuri, kehilangan istri dan anaknya, kehilangan banyak orang. Kamu harus kuat, Lexa. Biarin Papa kamu tenang di sana ya." Dewa berusaha memberi pengertian yang menguatkan pada Lexa

Akhirnya Lexa menangis. Tubuh Lexa melemas, pantas saja dari kemarin ia selalu ingat pada papa nya.
Lagi-lagi hidup begitu berat, Lexa kembali merasakan kecewa yang begitu dalam. Bagai di tusuk ribuan jarum, bagai di hujan oleh ribuan tombak. Lexs sudah tidak berdaya.

***
 Pemakaman Wade berjalan lancar, semua prajurit melakukan tugasnya dengan baik, mereka mengantarkan Wade sampai ke tempat peristirahatan nya. Orang-orang yang sayang pada Wade berkumpul di pemakaman, mereka menangisi kepergian sang perwira yang mereka sayangi. Wade begitu baik hati, dia begitu menghibur banyak orang dengan kekonyolan nya, dia tegas tapi dia penyayang, Wade akan selalu di ingat banyak orang.

 Waktu terus berjalan, Namira sudah mengikhlaskan kepergian Wade, ia mulai menyibukkan dirinya dengan membuka toko kue yang setiap harinya semakin berkembang, sedangkan Alexa masih tetap melanjutkan sekolah ditemani dengan Dewa yang dengan sabar selalu menemani Alexa dalam keadaan apapun. Lexa selaku mengeluh tentang hidup, Dewa selalu menguatkan.

***
Hari ini Lexa pergi ke salah satu tempat wisata yang ada di Bandung, pastinya di temani Dewa. Karena memang Alexa belum hapal betul daerah-daerah yang ada di Bandung.

"Udah ya jangan sedih terus, kasihan papamu nanti tidak tenang di sana, dia pasti lihat kamu sedih disini." Dewa memandang lurus kedepan.
"Iya tahu, tapi berat, Wa." Lexa menyandarkan kepalanya di bahu Dewa.

Dewa tersenyum kecil lalu berkata

"Semua manusia pernah mengalami yang namanya patah hati. Semua manusia pernah mengalami kecewa, Lex. Sedih akan harapan yang belum tercapai, dan mimpi yang belum terwujudkan. Bertumbuh dengan rasa sakit dan masalah yang udah kamu lewati, Lex. Jadikan pembelajaran untuk kamu jadi pribadi yang lebih baik lagi. Kita semua kan punya kelebihan dan kekurangan. Terima diri kamu sendiri, ayo bertumbuh sama-sama."
Lexa tersenyum mendengar jawaban Dewa. Merasa bersyukur ia mempunyai Dewa yang selalu menyemangati nya.

***
Bandung,
Terimakasih sudah memberi kenangan yang tidak pernah bisa aku lupakan,
Kamu indah, bisa menenangkan hati
Kamu baik, menyediakan tempat yang bisa membuat orang-orang senang.

Terimakasih, Papa.
Papa baik
Papa hebat
Papa membuat aku sekuat ini
Papa mengajarkan arti sabar yang sebenernya
Papa membuat aku jadi anak yang tahu mana yang baik dan mana yang buruk
Papa adalah papa yang terbaik di dunia.
Alexa selalu sayang papa.

***

Teruntuk kamu, Dewa.
Terimakasih sudah selalu ada,
Terimakasih sudah hadir lalu menulis cerita yang indah dalam hidupku
Terimakasih untuk semua kesabaranmu
Terimakasih.
Mereka tak perlu mengerti kita ini apa,
Suatu saat mereka akan paham sendiri.
Cukup aku, kamu dan Tuhan yang tahu.
Terimakasih selama aku ditinggalkan oleh papa, kamu selalu menemani aku sampai aku tahu arti ikhlas yang sebenarnya. Terimakasih telah menemani aku melewati fase dimana aku berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Karena aku sadar, aku bukan apa-apa tanpa bantuan Bunda dan kamu. Aku terus mencoba menjadi lebih baik setiap harinya.
Kamu pernah bilang
"Aku tidak berjanji untuk menyelesaikan seluruh masalahmu. Akan tetapi aku berjanji tidak akan meninghalkanmu sendiri."
Terimakasih banyak Dewa. Aku belajar banyak. Hidup bukan tentang perasaanku sendiri, melainkan perasaan semua manusia yang ada di humi. Kematian adalah sesuatu yang adil. Semua akan mengalaminya, semua punya waktu sendiri.
Semua ada baguannya, karena nyatanya tidak ada kesedihan yang abadi, Tuhan sangat adil.

Terimakasih, semesta.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun