Mohon tunggu...
Thaha Rohmatun Aulia
Thaha Rohmatun Aulia Mohon Tunggu... Jurnalis - @thahara

Nature~

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ikhlas yang Menjadi Tujuan

5 Maret 2020   23:01 Diperbarui: 5 Maret 2020   23:18 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Waktu terus berjalan, dan tidak terasa hari sudah pagi pagi, dan keluarga Neill berangkat ke Bandung. Lexa tersenyum lagi, oke kali ini ia harus bisa mengikhlaskan. Saat Lexa hanyut dalam lamunan nya, ponsel Lexa berdering menandakan ada telepon masuk.

"Angkat dulu, Lexa. Siapa tahu penting." Namira menyuruh anak perempuan nya untuk segera mengangkat teleponnya itu.

"Iya hallo, kenapa?" Lexa berbicara ketika telepon nya sudah tersambung dengan orang di sebrang sana.
"Kalau udah sampai kabari aku ya." Suara berat itu keluar begitu saja.

Lexa berdeham kecil.
Lalu sambungan terputus.

"Dasar tidak pernah berubah, orang belum bicara udah di matiin gitu aja." Lexa berbicara pelan.
"Siapa, Lexa?" Tanya Wade yang masih fokus menyetir.
"Dewa, Pah. Anaknya Om Samudera." Pipi Lexa memerah, membuat Wade menggoda anak satu-satunya itu.
"Anak papa sudah besar, gimana? Sudah sedekat apa kalian?" Wade menggoda Lexa.
"Apa sih pah, kan Lexa temenan sama Dewa." Pipi Lexa semakin memerah.
"lho, papa kan ga bilang kalian ga temenan, papa hanya bertanya sudah sedekat apa?"
"Sudah, sudah. Lihat tuh Pah, pipi Lexa sudah memerah." Namira menyudahi perdebatan itu.

***
Aku sudah sampai di Bandung, ternyata tempat nya dingin. Aku duduk di hadapan sosok laki-laki yang bertubuh tegap, berkulit putih, dengan mata yang menyorot tajam. Iya, lelaki itu Dewa. Sedari tadi lelaki ini hanya memandangiku tanpa berniat bicara atau melakukan apapun. Udara semakin dingin, aku menggenggam cangkir yang berisi teh hangat.

"Kenapa sih ngelihatinnya gitu banget. Ada yang aneh sama muka aku?"
Dewa hanya diam, tidak mengeluarkan sepatah katapun yang keluar dari mulutnya. Matanya masih menatap ke arahku.
"Dewa, ih. Kenapa?"
"Kangen"

Astaga, aku kira dia akan bicara apa, tidak tahunya ia mengatakan 'kangen'
Jangan sampai ia tahu jantung ku berdetak kencang.

Dewa memberikan jagung bakar yang sudah ia tiup sebelumnya padaku. Aku menolak, karena aku takut jagung itu masih panas.

"Makan. Udah ga panas." Dewa menempelkan jagung itu pada mulutku. Ah iya, benar. Jagung nya tidak panas. Aku menerima lalu menggigit nya kecil.
"Besok aku jemput ya." Kata Dewa sambil memakai jaket nya.
"Mau kemana?" Tanya ku bingung.
"Ke sekolah baru, papa kamu kemarin nyuruh aku buat nemenin kamu."
Aku mengangguk kecil.
"Masuk sana, aku pulang dulu "

Sampai akhirnya Dewa menghilang dari pandangan ku.
 Aku masuk ke dalam rumah, entah kenapa dari tadi aku kepikiran Papa, rasa nya aneh seperti tidak ingin jauh dari papa, tidak ingin papa pergi. Kenapa semua terasa berat ya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun