"Pa, ini mendadak banget buat aku, aku harus ninggalin Jakarta?" Jujur, aku baru di beri tahu tadi oleh Papa, ini sangat mendadak.
"Iya papa tahu kamu sedih, tapi papa harus pindah tugas."
"Pa, tapi aku bisa kan tinggal di rumah Tante Marissa--" Belum sempat aku meneruskan kalimatku, Papa sudah memotongnya.
"Tidak bisa, Lexa. Kamu harus papa pantau, ya memang sih papa bertugas, tapi setidaknya papa bisa mendapatkan informasi dari bundamu" Papa kembali menolakku.
Ah sudahlah, rasanya percuma aku menolak, tidak ada gunanya juga kan. Aku tahu ini berat, aku pasrah, tidak peduli bagaimana kedepannya, tapi jujur aku hanya ingin pulih, kuat di dadaku.
"Iya yaudah terserah Papa aja."
***
Hari ini Lexa terakhir sekolah, Lexa di antar oleh Wade.
"Kamu sudah memberi tahu teman-temanmu?" Tanya Wade sambil keluar dari mobil.
"Iya udah Pah."
"Gimana reaksi mereka? Marah?" Wade merangkul Lexa lalu mengajaknya ke ruang kepala sekolah.
"Iya Pah, tapi Lexa udah ngasih pengertian kok ke mereka, Lexa udah ngasih penjelasan yang bisa bikin mereka ngerti." Lexa memeluk pinggang Wade.
"Yaudah deh, maafin Papa ya, gara-gara Papa kamu jadi pindah ke Bandung."
"Iya Lah gapapa kok, papa ga salah."
Setelah beberapa jam, surat-surat kepindahan Lexa sudah di urus. Wade masih ada di ruang kepala sekolah, mereka masih berbincang. Lexa segera menemui teman-temannya yang ada di kelas. Mereka semua sedih akan kepindahan Lexa yang begitu mendadak, beberapa teman dekat Lexa marah, tapi tidak marah yang benar-benar marah, tapi hanya kesal.
"Ini terlalu mendadak, kita semua kaget, kita pasti bakal sedih banegt." Salah satu teman kelasnya. Mereka semua mengangguk, setuju dengan apa yang di katakan oleh seorang temannya itu.
"Sama aku juga sedih, kalian bisa bayangin, kalian semua cuma kehilangan satu orang yaitu aku, sedangkan aku? Kehilangan tiga puluh lima orang sekaligus dalam satu hari. Kebayang kan bagaimana sakitnya, bagaimana rasa kehilangan nya. Ini terlalu mendadak, tapi emang hidupkan perkara meleoaskan, mengikhlaskan. Kalau semua udah waktunya kan, kita pasti baik-baik aja." Lexa memeluk temannya satu persatu.
Sebelum Lexa pulang, teman-temannya meminta foto bersama agar masih punya kenangan bersama. Setelah berfoto, Lexa di jemput oleh Wade, dan mereka berjalan ke parkiran untuk pulang.
***
 Sampai di rumah aku tidak langsung tidur atau melakukan aktivitas aoapun, aku menemui bunda dulu.
"Bun, semua udah beres?" Aku mengambil gelas lalu menuangkan air ke dalamnya.
"Iya udah Lex, kamu ke atas aja sana." Bunda menyuruh ku ke atas.
"Iya deh Bun, aku ke atas dulu ya."Â
Aku menaiki satu persatu anak tangga, lalu menuju pintu dengan tulisan yang menggantung kamar Lexa aku tersenyum melihat itu, tulisan itu ku tulis saat umur 9 tahun. Aku masih ingat betul. Aku membuka kamar itu, yang tersisa hanya kasur di sana, dan masih ada beberapa foto polaroid yang menggantung di dinding kamar. Foto itu sengaja tidak aku bawa, rumah ini milik Papa, jadi kapan pun aku bisa mengunjungi rumah ini.