Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda Handriawan
Teuku Parvinanda Handriawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan Jurnalis dan Praktisi Komunikasi

Mantan Jurnalis dan Praktisi Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Oposisi Mulai Ditinggal, Refleksi Politik Pasca Pemilu 2024

20 Agustus 2024   13:57 Diperbarui: 20 Agustus 2024   23:52 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS))

Pemilihan Presiden 2024 di Indonesia menghasilkan kemenangan bagi pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, yang menandai awal dari perubahan signifikan dalam lanskap politik nasional. 

Manuver politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak hanya mengubah peta koalisi politik, tetapi juga menggeser keseimbangan kekuatan antara pendukung pemerintah dan oposisi.

Beberapa partai yang sebelumnya mendukung Presiden Joko Widodo (Jokowi) mulai beralih ke barisan oposisi karena kecewa dengan manuver politiknya. 

Sementara itu, partai-partai lain tetap setia, bahkan semakin erat mendukung Jokowi. Di sisi lain, partai-partai oposisi yang selama ini kritis terhadap pemerintah, seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), mulai menunjukkan tanda-tanda goyah dan merapat ke arah Jokowi.

Perubahan ini memunculkan pertanyaan mendalam: Apakah politik Indonesia menuju dominasi satu kekuatan tanpa penyeimbang? 

Apakah fungsi check and balances, yang menjadi landasan demokrasi, kini terancam hilang? Dan yang paling penting, bagaimana nasib rakyat di tengah dinamika politik yang semakin tidak jelas arah ini?

Peran Oposisi

Dalam teori politik, keberadaan oposisi yang kuat adalah komponen esensial dari sistem demokrasi yang sehat. Giovanni Sartori, dalam Parties and Party Systems, menekankan bahwa oposisi berfungsi sebagai mekanisme pengawasan terhadap kekuasaan yang dominan. Ia memungkinkan munculnya debat publik, memastikan transparansi, dan menjaga akuntabilitas. 

Dalam model klasik demokrasi liberal seperti yang dikemukakan oleh John Locke dan Montesquieu, trias politica tidak hanya menuntut pemisahan kekuasaan antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif, tetapi juga membutuhkan oposisi politik sebagai alat kontrol horizontal yang mengawasi pemerintahan.

Oposisi bukan hanya sekadar penyeimbang, tetapi juga representasi alternatif dari kebijakan dan visi politik. 

Tanpa oposisi yang kuat, pemerintah bisa menjadi otoriter, dengan keputusan-keputusan yang diambil tanpa perlu mempertimbangkan kritik atau masukan dari pihak lain. Hal ini, pada gilirannya, dapat mengarah pada kebijakan yang tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat.

Di Indonesia, sistem politik yang semakin terfragmentasi ini berpotensi mengancam fungsi dasar tersebut. 

Ketika partai-partai yang sebelumnya kritis terhadap pemerintah mulai bergeser mendekati kekuasaan, fungsi oposisi yang vital dalam demokrasi menjadi lemah. 

Ini bisa menyebabkan politik Indonesia berubah menjadi dominasi satu kekuatan yang sulit untuk dikritisi dan diawasi oleh penyeimbang yang memadai.

Dinamika Oposisi di Indonesia: Pergeseran dan Kegagalan

Sejatinya oposisi berangkat dari ketidaksetujuan. Latar belakang dan pelakunya bisa berbeda-beda sesuai dengan periode kekuasaan yang berlangsung pada saat itu. 

Dalam konteks terkini, oposisi tumbuh dari rasa kecewa partai pendukung Jokowi, PDIP. Namun, peralihan ini tidak disertai dengan kejelasan visi dan misi oposisi yang kuat, yang mengakibatkan lemahnya koordinasi dan efektivitas gerakan oposisi tersebut.

Di sisi lain, PKS, yang selama ini dikenal sebagai oposisi konsisten, tak disangka membuat gebrakan dengan merapat ke koalisi Jokowi. 

Barisan pendukung yang kian gemuk sementara barisan oposan terus menipis, membuat rasa ragu semakin besar, politik tak lagi jadi alat untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya, tetapi menjadi alat tawar-menawar semata alias transaksional.

Oposisi di Negara Lain

Jika kita membandingkan dengan negara-negara ASEAN, kasus serupa terjadi di Thailand dan Kamboja, di mana oposisi politik ditekan atau diabaikan. 

Di Kamboja, pemerintahan Hun Sen selama bertahun-tahun menekan oposisi, yang akhirnya membuat negara tersebut mendekati status authoritarianism. 

Kalau di Thailand, kudeta militer dan tekanan terhadap partai oposisi berulang kali menimbulkan ketidakstabilan politik dan merugikan demokrasi.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan perbedaan yang kontras. Di AS, meskipun polarisasi politik sangat tajam, oposisi (dalam hal ini Partai Demokrat dan Republik) tetap memainkan peran kritis dalam pengawasan dan penyeimbangan kekuasaan. 

Bahkan ketika satu partai mendominasi, oposisi tetap memiliki suara yang signifikan melalui mekanisme checks and balances yang kuat, seperti di dalam Kongres dan Mahkamah Agung.

Di negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman atau Inggris, peran oposisi di parlemen sangatlah penting dalam menjaga akuntabilitas pemerintah. 

Ketika di Jerman, sistem koalisi multiparti memungkinkan partai kecil tetap memiliki suara dalam pemerintahan. Di Inggris, konsep Her Majesty's Loyal Opposition memberikan tempat resmi bagi oposisi untuk menantang kebijakan pemerintah.

Dampak Hilangnya Oposisi

Ketika oposisi melemah, risiko terhadap demokrasi dan kesejahteraan rakyat meningkat. Di Filipina, di bawah kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte, serangan terhadap oposisi politik dan media berujung pada pengurangan kebebasan sipil dan meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia. 

Situasi ini mengakibatkan rakyat semakin sulit menyuarakan aspirasi mereka, dan kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak berpihak kepada kepentingan publik.

Di Indonesia, contoh lain dapat dilihat pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Dengan tidak adanya oposisi yang efektif, pemerintahan Orde Baru berlangsung tanpa kritik berarti selama lebih dari tiga dekade. 

Akibatnya, korupsi merajalela, kebijakan otoriter diberlakukan, dan aspirasi rakyat ditekan. Rakyat akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik, dan krisis ekonomi 1998 memicu jatuhnya rezim tersebut.

Demokrasi Tanpa Oposisi, Rakyat Tanpa Suara

Perubahan politik Indonesia pasca-Pemilu 2024 mengindikasikan risiko serius terhadap demokrasi jika oposisi terus melemah. 

Tanpa oposisi yang kuat, tidak ada mekanisme efektif untuk menyeimbangkan kekuasaan dan memastikan bahwa kebijakan yang diambil pemerintah benar-benar merefleksikan aspirasi rakyat.

Demokrasi yang sehat membutuhkan oposisi yang aktif dan kuat sebagai suara kritis yang menuntut akuntabilitas, transparansi, dan representasi yang adil. 

Demokrasi yang berjalan tanpa oposisi berisiko menjadi autopilot, di mana penguasa berjalan tanpa arahan dari rakyat. Ketika oposisi mulai ditinggalkan, kita harus bertanya apakah rakyat masih memiliki suara dalam sistem ini atau malah menjadi monopoli kekuasaan yang tak terbantahkan?

Jika rakyat dibiarkan tanpa oposisi, suara mereka tidak akan didengar, dan politik akan menjadi monopoli kekuasaan yang semakin jauh dari nilai-nilai demokrasi yang sesungguhnya.

Di tengah dinamika politik yang semakin tidak menentu, peran rakyat dalam menjaga kualitas demokrasi sangat penting. 

Rakyat harus terus mengawasi dan berpartisipasi aktif dalam politik untuk memastikan bahwa fungsi check and balances tidak hilang, dan bahwa demokrasi tetap hidup di tengah perubahan. 

Tanpa keterlibatan rakyat yang kuat, demokrasi akan tereduksi menjadi sekadar permainan politik elit, jauh dari nilai-nilai partisipasi yang menjadi dasar pendirian republik ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun