Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda Handriawan
Teuku Parvinanda Handriawan Mohon Tunggu... Lainnya - Mantan Jurnalis dan Praktisi Komunikasi

Mantan Jurnalis dan Praktisi Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Oposisi Mulai Ditinggal, Refleksi Politik Pasca Pemilu 2024

20 Agustus 2024   13:57 Diperbarui: 20 Agustus 2024   23:52 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bendera partai politik peserta Pemilu 2024 dipasang di Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU), Jakarta, Selasa (17/1/2023). (Foto: KOMPAS/AGUS SUSANTO (AGS))

Kalau di Thailand, kudeta militer dan tekanan terhadap partai oposisi berulang kali menimbulkan ketidakstabilan politik dan merugikan demokrasi.

Negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa menunjukkan perbedaan yang kontras. Di AS, meskipun polarisasi politik sangat tajam, oposisi (dalam hal ini Partai Demokrat dan Republik) tetap memainkan peran kritis dalam pengawasan dan penyeimbangan kekuasaan. 

Bahkan ketika satu partai mendominasi, oposisi tetap memiliki suara yang signifikan melalui mekanisme checks and balances yang kuat, seperti di dalam Kongres dan Mahkamah Agung.

Di negara-negara Eropa Barat, seperti Jerman atau Inggris, peran oposisi di parlemen sangatlah penting dalam menjaga akuntabilitas pemerintah. 

Ketika di Jerman, sistem koalisi multiparti memungkinkan partai kecil tetap memiliki suara dalam pemerintahan. Di Inggris, konsep Her Majesty's Loyal Opposition memberikan tempat resmi bagi oposisi untuk menantang kebijakan pemerintah.

Dampak Hilangnya Oposisi

Ketika oposisi melemah, risiko terhadap demokrasi dan kesejahteraan rakyat meningkat. Di Filipina, di bawah kepemimpinan Presiden Rodrigo Duterte, serangan terhadap oposisi politik dan media berujung pada pengurangan kebebasan sipil dan meningkatnya pelanggaran hak asasi manusia. 

Situasi ini mengakibatkan rakyat semakin sulit menyuarakan aspirasi mereka, dan kebijakan yang dihasilkan sering kali tidak berpihak kepada kepentingan publik.

Di Indonesia, contoh lain dapat dilihat pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Dengan tidak adanya oposisi yang efektif, pemerintahan Orde Baru berlangsung tanpa kritik berarti selama lebih dari tiga dekade. 

Akibatnya, korupsi merajalela, kebijakan otoriter diberlakukan, dan aspirasi rakyat ditekan. Rakyat akhirnya kehilangan kepercayaan terhadap sistem politik, dan krisis ekonomi 1998 memicu jatuhnya rezim tersebut.

Demokrasi Tanpa Oposisi, Rakyat Tanpa Suara

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun