"Ya, ampun, Ayah! Aku 'kan udah gede! Udah sebelas tahun, tahu! Masa masih dipangku begini!"
Ayah tertawa-tawa dan mengabaikan protesku. Dalam pelukan ayah, aku dihujani ciuman dan pelukan ibu dan kakak-kakakku. Syukurlah, sahur kali ini berhasil membuat semua tertawa bahagia. Â
Diam-diam kusampaikan keluh-kesahku pada Sang Maha Pemberi Segala. Dia pasti tahu betul hal yang membuatku selalu resah setiap kali menghadapi lebaran. Jika orang menyambut lebaran dengan sukacita, maka bisa jadi akulah satu-satunya orang yang tak pernah berharap Ramadan bakal diakhiri oleh sesuatu yang disebut 'lebaran'.
Aku ingin, Ramadan ya Ramadan saja. Kujalani semua yang harus dilakukan dalam bulan Ramadan dengan segala kesungguhan. Aku patuh pada kewajiban. Hanya saja, aku berharap setelahnya tidak perlu ada lebaran. Tidak perlu ada aktivitas saling kunjung dan bersilaturahmi.
Namun, harapan dan keinginanku ini tentu saja hanya mimpi buruk semata. Ramadan terus bergerak, membawaku pada gundah yang terus merayap. Menyeretku pada risau dan luka yang kian bernanah. Semakin dekat waktu menuju lebaran, jiwaku semakin tertekan dan rasanya ingin menghilang saja hingga lebaran usai.
Aku ingin menghilang saat lebaran tiba. Aku berharap tidak ada kewajiban silaturahmi. Aku hanya ingin bercengkrama dengan-Nya dan bertanya mengapa Dia memilihku menjadi makhluk spesial.
Ya, keluargaku menyebutku Mutiara si Gadis Spesial. Kemampuanku dalam melukis memang tiada tandingnya. Caraku melukis membuat orang berdecak kagum. Goresan bentuk dan padu-padan warna menjadikan lukisanku selalu dihargai dengan jumlah rupiah yang fantastis. Berbagai event kejuaraan berhasil kuraih. Aku sangat bahagia saat menatap binar kebahagiaan pada bola mata keluargaku.
Namun kebahagiaan itu selalu sirna manakala lebaran muncul di depan mata. Perasaanku selalu cemas setiap kali mendengar kata 'lebaran'. Andai saja keinginanku terkabul sebelum lebaran tiba, aku yakin bisa menyambut lebaran dengan sukacita sebagaimana orang kebanyakan.
Setiap lebaran, aku selalu tenggelam dalam duka nestapa. Apalagi saat melihat orang tersenyum dan bersalaman. Aku tak pernah berhenti menatap lengan-lengan indah dengan jemari lentik yang ditangkup dan bersentuhan dengan jemari lainnya. Mereka bersalaman disertai senyum semringah.
Anak-anak kecil bergiliran mencium tangan para orang tua. Bi Sanah bersalaman dengan kedua orang tuaku sambil berderai air mata. Meskipun demikian, pada akhirnya tertawa bahagia. Kak Dea, Kak Alan, bersalaman dengan teman-temannya dengan gaya kekinian, saling adu kepalan tangan. Lalu tertawa dalam keriangan.
Sedang aku? Saat lebaran tiba, aku hanya bisa mengasihani diri. Kularutkan diri dan bersimpuh dalam permohonan yang tidak pernah berubah. Tak henti kutanyakan kepada-Nya, kapan aku bisa bersalaman? Padahal hanya satu yang kuinginkan.