Menuju lebaran tahun ini tinggal hitungan jari sebelah tangan. Kalau bukan Jumat, tentu Sabtu. Begitu menurut perhitungan orang-orang yang kubaca dari berbagai media. Begitu pula obrolan yang kudengar di rumah.
"Kalau tidak salah, tinggal tiga atau empat hari lagi ya, kita puasa Ramadan ini," ujar ibu sambil menyendok suap terakhir pada sahur tadi.
"Iya benar. Bagaimana persiapannya, Bu? Sudah lengkap?" tanya ayah setengah bergurau.
"Insyaallah siap, Yah. Anak-anak sudah beli baju dan perlengkapan salat buat salat Id nanti. Bi Sanah dan sanak saudara juga sudah kebagian. Tinggal buat yang ngurus makam saja. Itu pun barangnya sudah siap. Belum sempat ke rumahnya," jawab ibu.
"Kue almon keju kesukaan Dea udah siap juga, Bu?"
Kak Dea bertanya dengan mulut terisi. Suaranya tercekuk di tenggorokan. Kakak sulungku selalu terlihat cantik meski bangun tidur sekalipun. Dia gadis yang sempurna. Aku sangat mengaguminya, selalu dan selalu!
"Jangan khawatir. Semua request sudah siap," jawab ibu sambil mengacungkan jempolnya.
"Kriuk-kriuk pesanan Alan? Kayaknya belum nongol, Bu."
Kak Alan tak ketinggalan. Ikut ambil bagian dalam persiapan lebaran.
"Sudah ibu bilang, semua oke!"
Ibu begitu semringah menciptakan kegaduhan lebaran yang membuat semua bahagia.
Ah, rupanya hanya itu yang ibu pikirkan saat menghadapi lebaran. Baju, kue, alat salat, dan segala tetek bengek lainnya yang menurutku tidak begitu penting.
"Oh iya, bungsu cantikku bagaimana? Sepertinya belum request apa-apa?"
Aku tahu semua bola mata tertuju kepadaku. Tentu saja sambil merentang harap menunggu jawaban yang akan kusampaikan.
Bukan sekali dua kali ibu bertanya tentang keinginanku untuk melengkapi kebahagiaan menyambut lebaran ini. Apa pun akan diberikannya sesuai keinginanku. Begitu janji ibu, ayah, dan kedua kakakku.
Namun, aku hanya bisa diam. Mencoba membingkai harap dalam balutan kesabaran dan doa yang tak henti kulangitkan. Aku tahu, keinginanku melebihi kemampuan yang bisa dilakukan oleh kedua orang tuaku. Aku takut mereka akan terganggu oleh keinginanku yang sulit diwujudkan.
"Ayo, Sayang. Katakan saja. Ibu dan ayah akan berusaha mewujudkannya." Suara ibu begitu lembut.
Aku tetap menunduk dan berusaha agar tak sampai meluruhkan bulir bening yang kusembunyikan di balik kelopak mataku. Haruskah kukatakan keinginanku yang sesungguhnya? Ah, tidak! Jangan-jangan bakal merusak kebahagiaan yang hari ini berhasil membingkai perasaan semua anggota keluarga.
"Oh, iya, hari ini Muti dapat penghargaan ya? Lukisan adikku ini memang luar biasa! Keren, keren, keren, pokoknya!" Kak Alan menjawil pipiku lalu menarik hidungku. Aku tertawa dibuatnya.
Untunglah Kak Alan menyela pembicaraan hingga aku terbebas dari jawaban yang memang tidak ingin kusampaikan. Dalam hati aku berterima kasih pada kakak gantengku itu.
"Nanti kita semua ikut mengantar ke Bina Budaya, ya? Jangan sampai gak ikut dalam momen istimewa ini!" Ayah mengangkat tubuhku dan mendudukkan di pangkuannya.
"Ya, ampun, Ayah! Aku 'kan udah gede! Udah sebelas tahun, tahu! Masa masih dipangku begini!"
Ayah tertawa-tawa dan mengabaikan protesku. Dalam pelukan ayah, aku dihujani ciuman dan pelukan ibu dan kakak-kakakku. Syukurlah, sahur kali ini berhasil membuat semua tertawa bahagia. Â
Diam-diam kusampaikan keluh-kesahku pada Sang Maha Pemberi Segala. Dia pasti tahu betul hal yang membuatku selalu resah setiap kali menghadapi lebaran. Jika orang menyambut lebaran dengan sukacita, maka bisa jadi akulah satu-satunya orang yang tak pernah berharap Ramadan bakal diakhiri oleh sesuatu yang disebut 'lebaran'.
Aku ingin, Ramadan ya Ramadan saja. Kujalani semua yang harus dilakukan dalam bulan Ramadan dengan segala kesungguhan. Aku patuh pada kewajiban. Hanya saja, aku berharap setelahnya tidak perlu ada lebaran. Tidak perlu ada aktivitas saling kunjung dan bersilaturahmi.
Namun, harapan dan keinginanku ini tentu saja hanya mimpi buruk semata. Ramadan terus bergerak, membawaku pada gundah yang terus merayap. Menyeretku pada risau dan luka yang kian bernanah. Semakin dekat waktu menuju lebaran, jiwaku semakin tertekan dan rasanya ingin menghilang saja hingga lebaran usai.
Aku ingin menghilang saat lebaran tiba. Aku berharap tidak ada kewajiban silaturahmi. Aku hanya ingin bercengkrama dengan-Nya dan bertanya mengapa Dia memilihku menjadi makhluk spesial.
Ya, keluargaku menyebutku Mutiara si Gadis Spesial. Kemampuanku dalam melukis memang tiada tandingnya. Caraku melukis membuat orang berdecak kagum. Goresan bentuk dan padu-padan warna menjadikan lukisanku selalu dihargai dengan jumlah rupiah yang fantastis. Berbagai event kejuaraan berhasil kuraih. Aku sangat bahagia saat menatap binar kebahagiaan pada bola mata keluargaku.
Namun kebahagiaan itu selalu sirna manakala lebaran muncul di depan mata. Perasaanku selalu cemas setiap kali mendengar kata 'lebaran'. Andai saja keinginanku terkabul sebelum lebaran tiba, aku yakin bisa menyambut lebaran dengan sukacita sebagaimana orang kebanyakan.
Setiap lebaran, aku selalu tenggelam dalam duka nestapa. Apalagi saat melihat orang tersenyum dan bersalaman. Aku tak pernah berhenti menatap lengan-lengan indah dengan jemari lentik yang ditangkup dan bersentuhan dengan jemari lainnya. Mereka bersalaman disertai senyum semringah.
Anak-anak kecil bergiliran mencium tangan para orang tua. Bi Sanah bersalaman dengan kedua orang tuaku sambil berderai air mata. Meskipun demikian, pada akhirnya tertawa bahagia. Kak Dea, Kak Alan, bersalaman dengan teman-temannya dengan gaya kekinian, saling adu kepalan tangan. Lalu tertawa dalam keriangan.
Sedang aku? Saat lebaran tiba, aku hanya bisa mengasihani diri. Kularutkan diri dan bersimpuh dalam permohonan yang tidak pernah berubah. Tak henti kutanyakan kepada-Nya, kapan aku bisa bersalaman? Padahal hanya satu yang kuinginkan.
Sungguh, hanya satu yang kuinginkan. Mengapa tidak terkabul juga? Aku ingin memiliki tangan agar bisa bersalaman saat lebaran tiba.
Tasikmalaya, 18-4-2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H