Ibu begitu semringah menciptakan kegaduhan lebaran yang membuat semua bahagia.
Ah, rupanya hanya itu yang ibu pikirkan saat menghadapi lebaran. Baju, kue, alat salat, dan segala tetek bengek lainnya yang menurutku tidak begitu penting.
"Oh iya, bungsu cantikku bagaimana? Sepertinya belum request apa-apa?"
Aku tahu semua bola mata tertuju kepadaku. Tentu saja sambil merentang harap menunggu jawaban yang akan kusampaikan.
Bukan sekali dua kali ibu bertanya tentang keinginanku untuk melengkapi kebahagiaan menyambut lebaran ini. Apa pun akan diberikannya sesuai keinginanku. Begitu janji ibu, ayah, dan kedua kakakku.
Namun, aku hanya bisa diam. Mencoba membingkai harap dalam balutan kesabaran dan doa yang tak henti kulangitkan. Aku tahu, keinginanku melebihi kemampuan yang bisa dilakukan oleh kedua orang tuaku. Aku takut mereka akan terganggu oleh keinginanku yang sulit diwujudkan.
"Ayo, Sayang. Katakan saja. Ibu dan ayah akan berusaha mewujudkannya." Suara ibu begitu lembut.
Aku tetap menunduk dan berusaha agar tak sampai meluruhkan bulir bening yang kusembunyikan di balik kelopak mataku. Haruskah kukatakan keinginanku yang sesungguhnya? Ah, tidak! Jangan-jangan bakal merusak kebahagiaan yang hari ini berhasil membingkai perasaan semua anggota keluarga.
"Oh, iya, hari ini Muti dapat penghargaan ya? Lukisan adikku ini memang luar biasa! Keren, keren, keren, pokoknya!" Kak Alan menjawil pipiku lalu menarik hidungku. Aku tertawa dibuatnya.
Untunglah Kak Alan menyela pembicaraan hingga aku terbebas dari jawaban yang memang tidak ingin kusampaikan. Dalam hati aku berterima kasih pada kakak gantengku itu.
"Nanti kita semua ikut mengantar ke Bina Budaya, ya? Jangan sampai gak ikut dalam momen istimewa ini!" Ayah mengangkat tubuhku dan mendudukkan di pangkuannya.