"Diam berarti menerima. Iya 'kan, Mina?" Suaranya semakin lembut.
Aku tahu dia tersenyum seperti biasanya. Namun aku hanya menunduk tak berani menatapnya.
"Ayolah, Mina, ucapkan sesuatu. Bukankah kau selalu mengatakan kalau kau selalu merindukanku?"
Kesabarannya benar-benar meluluhlantakkan perasaanku.
"Iya benar, Pak. Saya sangat menyayangi Bapak. Selalu merindukan Bapak," jawabku diselingi isak tertahan.
"Nah, lalu kenapa menangis? Kenapa tak memberiku jawaban?" ujarnya.
"Saya... saya sangat menyayangi Bapak sebagai ... sosok ayah. Wajah Bapak serupa ayah saya. Saya sangat merindukannya. Saaangat merindukannya, Pak."
Aku tak bisa menahan tangis. Entah tangis kerinduan atau tangis penyesalan karena membuat Pak Arsyad kecewa.
"Jadi ... selama ini?"
Aku mendengar keheranan dan kekecewaan pada ucapannya.
"Maafkan saya, Pak. Selama ini saya bahagia bisa berjumpa lagi dengan ayah saya. Bisa menumpahkan kerinduan pada ayah. Bisa bercakap-cakap seperti dulu."