Kuperiksa sekali lagi. Pintu-pintu terkunci dengan benar. Selot dan anak kunci berfungsi dengan baik. Sebagian lampu kupadamkan pada ruang yang cukup luas berisi barang dagangan. Stock opname baru saja selesai dilakukan. Semua barang tersimpan rapi pada tempatnya dengan barcode lengkap sesuai penataan jenis barang. Area dagang yang hidup saat siang hingga di awal malam, kini sepi dan kini semua beristirahat dari hiruk-pikuk.
Sebelum benar-benar kutinggalkan, kulayangkan pandangan ke arah ruang sebelah yang kutata menjadi tempat nongkrong pelanggan. Lorong memanjang di samping Minamart kurekayasa menjadi Caf Mina yang nyaman bagi pelanggan. Dengan desain unik bernuansa hijau yang mendekati suasana pedesaan, ruang itu segera menjadi tempat populer bagi para bapak yang enggan menyertai pasangannya saat berbelanja. Tidak lupa, kulengkapi dengan gemericik air yang menambah kesan sejuk dan adem.
Kehadiran lelaki pemilik postur tubuh tegap dengan paras menawan mulai menyeretku ke dalam gejolak rindu. Rindu yang kusimpan diam-diam dan rapat-rapat jauh di lubuk hati, kini serupa magma yang tengah bergejolak. Setiap kali dia datang bersama putrinya, ya, kupikir dia anak gadisnya karena kulihat ada kemiripan wajah, lelaki itu hanya sejenak menyertai putri remajanya memasuki Minamart-ku. Selanjutnya dia akan duduk tenang di Caf Mina untuk menikmati kopi hangat plus alunan musik lembut yang mengalun merdu.
Tempat duduk yang dipilihnya tidak pernah berubah. Dia menempati bagian pojok ruangan dekat deretan air yang gemericik. Lelaki itu menikmati minumannya sedikit demi sedikit seraya menatap lekat pada kolam kecil berisi ikan hias. Pakaian yang dikenakannya benar-benar memperindah wajahnya yang matang penuh karisma. Jika putrinya telah selesai berbelanja, dia akan mengajaknya duduk dan menikmati minuman ditambah makanan kecil yang tersedia di cafku. Tentu saja semakin lama dia berada di sana, semakin membuncah rasa yang selama ini kupendam.
Diam-diam aku memberanikan diri mencuri pandang. Sekali dua kali, hingga berkali-kali. Pandang yang beriring rindu. Rindu yang meronta-ronta dan berusaha menggapai sesuatu yang selama ini kusimpan di lubuk hati. Hatiku kian menghangat. Bahkan sesekali terbakar oleh rindu yang semakin menggebu. Sungguh, kali ini kutemukan dia, lelaki penguasa rinduku.
Dulu, kumiliki seorang lelaki yang sering memelukku. Dia cinta pertamaku. Cinta yang tak pernah padam hingga kapan pun. Sering kusandarkan tubuhku di dada kekarnya. Kunikmati setiap embusan napasnya yang menyentuh kepalaku. Belaian tangan pada rambutku yang ikal membuat mataku selalu terpejam. Apa pun yang diucapkannya selalu tersimpan dalam ingatan. Senyumnya adalah semangat hidupku.
Entah kini dia mengenaliku ataukah tidak. Bisa jadi memang dia tak lagi tahu siapa aku. Karena tampilanku pun berubah drastis. Aku lebih dewasa dan tampil lebih anggun. Setidaknya seperti itulah yang dikatakan teman-temanku.
Beberapa hari ini lelaki itu datang sendiri. Seperti biasa duduk tenang di pojok itu. Menikmati kopi hangat yang spesial kubuat. Menatap lembut air yang bergemericik. Sesekali pandangnya mulai mengarah kepadaku. Begitu lembut dan syahdu. Aku melihat telaga kasih dalam setiap tatapannya.
Sejak kusadari kehadirannya menjadi candu, aku tak membiarkan orang lain melayaninya. Kubuatkan kopi dengan ramuan cinta yang kumiliki. Kusodorkan dengan rindu yang tak bisa lagi kusembunyikan. Meski belum berani menatapnya langsung, aku tahu dia pun mulai mencuri pandang. Sesekali senyumnya tersungging, khusus untukku. Beruntung, aku masih bisa menahan diri. Tak sampai pingsan lantaran beroleh kebahagiaan berpapasan dengan senyumnya.
Aku hanya bisa membalas dengan senyum yang lembut. Selembut perasaanku yang dibakar rasa rindu. Tak kupungkiri kalau aku tertarik pada lelaki itu. Pada sikapnya yang sangat dewasa. Pada perilakunya yang tenang namun mampu membangkitkan rinduku yang kian bergelora.
"Adik pemilik caf ini?" tanyanya membuka percakapan. Suaranya sangat berwibawa hingga terasa menghipnotis.
Kusuguhkan kopi kesukaannya. Aku sedikit berlama-lama di mejanya, tak segera kembali ke pantry.
"Iya, benar, Pak," jawabku seraya tersenyum.
Sejenak aku bingung menenangkan hatiku yang meronta-ronta. Wajah yang kurindu itu menatapku lekat-lekat. Membuat bola mataku bertumbuk dengannya.
"Saya Arsyad," katanya lagi tanpa menyodorkan tangan. Hanya anggukan, tatap mata, dan senyum yang menyertainya.
"Mm... saya Mina," kuikuti caranya berkenalan.
"Siapa yang merancang caf ini? Benar-benar tata ruangnya sangat berkesan," lanjutnya.
"Saya dibantu ibu, Pak," jawabku di antara malu dan bahagia.
Sejak itu, kami jadi lebih sering bertemu dan lebih intens bercakap-cakap. Kurasa, hati kami semakin bertaut.
"Mina, aku membutuhkan pendamping hidup. Juga sangat berharap mendapat ibu sambung untuk anakku. Maukah engkau menjadi istriku?"
Sungguh, Pak Arsyad menyampaikan pertanyaan yang tidak terduga. Â Aku hanya terdiam sebab suaraku tercekat di tenggorokan.
Diraihnya kedua tanganku dengan lembut. Kedua tangannya menggenggam hangat. Tatapnya menembus lorong hatiku yang dipenuhi kerinduan.
"Diam berarti menerima. Iya 'kan, Mina?" Suaranya semakin lembut.
Aku tahu dia tersenyum seperti biasanya. Namun aku hanya menunduk tak berani menatapnya.
"Ayolah, Mina, ucapkan sesuatu. Bukankah kau selalu mengatakan kalau kau selalu merindukanku?"
Kesabarannya benar-benar meluluhlantakkan perasaanku.
"Iya benar, Pak. Saya sangat menyayangi Bapak. Selalu merindukan Bapak," jawabku diselingi isak tertahan.
"Nah, lalu kenapa menangis? Kenapa tak memberiku jawaban?" ujarnya.
"Saya... saya sangat menyayangi Bapak sebagai ... sosok ayah. Wajah Bapak serupa ayah saya. Saya sangat merindukannya. Saaangat merindukannya, Pak."
Aku tak bisa menahan tangis. Entah tangis kerinduan atau tangis penyesalan karena membuat Pak Arsyad kecewa.
"Jadi ... selama ini?"
Aku mendengar keheranan dan kekecewaan pada ucapannya.
"Maafkan saya, Pak. Selama ini saya bahagia bisa berjumpa lagi dengan ayah saya. Bisa menumpahkan kerinduan pada ayah. Bisa bercakap-cakap seperti dulu."
"Memangnya ayahmu ke mana?"
"Saya tidak tahu. Waktu saya masih kecil, ayah lebih memilih wanita lain ketimbang ibu."
Sejak itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengan Pak Arsyad. Lorong Caf Mina kehilangan sosok yang kurindukan.
Kutinggalkan tempat itu dengan hati yang hampa. Kupadamkan lampunya seiring dengan redupnya kebahagiaanku.
Tasikmalaya, 4-4-2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H