Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jadi, Aku Harus Bagaimana? (Cerpen Part 2- Tamat)

27 Januari 2023   09:38 Diperbarui: 27 Januari 2023   10:00 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Sebenarnya saya juga dengar kata tetangga, enggak baik saya tinggal sama abang. Malah harusnya saya segera keluar dari rumah. Tapi saya harus pergi ke mana karena tidak punya orang tua," tutur Lia.

Bulir bening mulai melewati kelopak matanya.

"Lia punya saudara dari ibu atau dari ayah?" kulanjutkan pertanyaan agar cepat menuju pokok permasalahan.

"Punya, Pak. Bibi juga sudah ngajak saya tinggal di rumahnya. Cuma ...," Nahlia menunduk dan menggantung kalimatnya.

"Cuma apa?"

Aku tidak bisa menunda rasa penasaran yang membuncah di dada.

"Cuma... kalau saya ikut bibi, kasihan abang sama putranya. Nanti siapa yang bakal bikin nasi? Siapa yang nyuci baju? Gimana kalau ponakan saya sakit?"

Kulihat ketulusan pada bening matanya dan kejujuran pada setiap ucapannya. Halus dan lembut perasaannya. Pantaslah dia mendapat panggilan 'Bunda' di kelasnya. Parasnya yang ayu semakin elok dengan tabiatnya yang lembut hati.

Pelan-pelan kuberi pengertian baik buruknya jika tetap serumah dengan kakak iparnya. Kuberi semangat juga agar Nahlia siap hidup bersama bibinya. Kuberi waktu untuk memikirkannya.

Sejak itu Nahlia sering bolong-bolong masuk sekolah. Dalam seminggu ada saja alasan tidak masuk. Perasaanku mulai tak karuan mengetahui dari temannya kalau Lia sibuk mengurus keponakannya. Dia sering absen karena kedua ponakannya sakit bergantian.

Kuintensifkan perhatian dan bimbingan untuknya. Jika masuk sekolah, kubantu Lia menghubungi guru-guru untuk mengerjakan tugas yang belum sempat dikerjakan. Kuminta teman-temannya membantu. Namun ketidakhadiran Lia kian bertambah. Sebulan, dua bulan, anak itu semakin jarang masuk sekolah.

Di malam yang semakin menua ini, aku masih duduk menekur di teras belakang. Kupandangi bintang yang bertabur di langit, pertanda musim kemarau segera tiba. Belum lagi musim kering tiba, hatiku meranggas duluan. Jiwaku gundah gulana lantaran belum bisa menerima keputusan Nahlia yang kudengar saat home visit tadi siang.

"Jadi, saya harus bagaimana, Pak? Kalau tinggal di rumah bibi, kasihan ponakan gak ada yang ngurus," katanya.

"Jangan khawatir, Lia. 'Kan nanti abang bisa nikah lagi sama siapaa... gitu. Bakal punya istri lagi buat ngurus kedua putranya. Mereka bisa membangun rumah tangga lagi," jawabku menggebu-gebu.

"Apa? Abang nikah sama siapa? Enggak bakal, Pak. Enggak akan!"

Suara Lia agak meninggi. Sepertinya terkejut mendengar penuturanku.

"Lho, enggak bakal bagaimana?" Sekarang gantian aku yang bingung.

"I... iya, Pak. Soalnya, abang minta saya... buat gantiin kakak."

Senyum Nahlia yang malu-malu dengan rona merah di pipi serupa belati yang menikam tepat di ulu hatiku. Senyumnya merekah, tak disembunyikan lagi.

"Jadi, maksudnya?" Pikiranku benar-benar buntu.

"Iya, Pak. Mulai minggu depan saya mau keluar. Enggak sekolah lagi. Mm... mau... mau nikah sama abang."

Meski malu-malu, aku merasa ucaapan Nahlia berhias nada cinta. Getar asmara memenuhi gelombang suara yang keluar dari bibir ranumnya.

"Benar, Pak Guru. Saya akan menikahi Lia agar kami tetap bersama dalam ikatan keluarga."

Tetiba suara Pak Warman muncul di antara pembicaraan kami.

Aku terhenyak. Napasku sesak. Dadaku terhimpit bongkahan batu. Jiwaku melayang hingga terdampar di padang tandus. Tanpa air dan tanpa harapan.

"Jadi, aku harus bagaimana?"

Pertanyaan Nahlia kini jadi pertanyaanku. Tanya itu muncul di benakku setelah yakin aku kalah telak. Harus kuakui kekalahanku sebab aku tak mampu bersaing dengan Warman, kakak ipar Nahlia, dan tak lama lagi bakal jadi suaminya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun