Di malam yang semakin menua ini, aku masih duduk menekur di teras belakang. Kupandangi bintang yang bertabur di langit, pertanda musim kemarau segera tiba. Belum lagi musim kering tiba, hatiku meranggas duluan. Jiwaku gundah gulana lantaran belum bisa menerima keputusan Nahlia yang kudengar saat home visit tadi siang.
"Jadi, saya harus bagaimana, Pak? Kalau tinggal di rumah bibi, kasihan ponakan gak ada yang ngurus," katanya.
"Jangan khawatir, Lia. 'Kan nanti abang bisa nikah lagi sama siapaa... gitu. Bakal punya istri lagi buat ngurus kedua putranya. Mereka bisa membangun rumah tangga lagi," jawabku menggebu-gebu.
"Apa? Abang nikah sama siapa? Enggak bakal, Pak. Enggak akan!"
Suara Lia agak meninggi. Sepertinya terkejut mendengar penuturanku.
"Lho, enggak bakal bagaimana?" Sekarang gantian aku yang bingung.
"I... iya, Pak. Soalnya, abang minta saya... buat gantiin kakak."
Senyum Nahlia yang malu-malu dengan rona merah di pipi serupa belati yang menikam tepat di ulu hatiku. Senyumnya merekah, tak disembunyikan lagi.
"Jadi, maksudnya?" Pikiranku benar-benar buntu.
"Iya, Pak. Mulai minggu depan saya mau keluar. Enggak sekolah lagi. Mm... mau... mau nikah sama abang."
Meski malu-malu, aku merasa ucaapan Nahlia berhias nada cinta. Getar asmara memenuhi gelombang suara yang keluar dari bibir ranumnya.