"Benar, Pak Guru. Saya akan menikahi Lia agar kami tetap bersama dalam ikatan keluarga."
Tetiba suara Pak Warman muncul di antara pembicaraan kami.
Aku terhenyak. Napasku sesak. Dadaku terhimpit bongkahan batu. Jiwaku melayang hingga terdampar di padang tandus. Tanpa air dan tanpa harapan.
"Jadi, aku harus bagaimana?"
Pertanyaan Nahlia kini jadi pertanyaanku. Tanya itu muncul di benakku setelah yakin aku kalah telak. Harus kuakui kekalahanku sebab aku tak mampu bersaing dengan Warman, kakak ipar Nahlia, dan tak lama lagi bakal jadi suaminya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H