Mohon tunggu...
Tetirah Kalam
Tetirah Kalam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Lelaki biasa saja.

Hidup bagi Dia, menulis untuk keabadian. (bung TK)

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Puisi | Percakapan Dekat Bukit Moria

10 Maret 2016   00:09 Diperbarui: 12 Maret 2016   01:28 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Ilustrasi: Shutterstock"][/caption]bintang di langit mengawasi dengan sabar
tangan angin tak lelah belai hati berbeban
sambil beriring memanggul api, tali, pisau, kayu bakar
ceritakanlah padaku wahai ayah, tentang korban 

lelaki tua menatap anak tersayang
satu-satunya yang lahir dari sebuah janji nan silam
satu-satunya yang lahir menerobos rahim kering kerontang
satu-satunya yang buat tertawa iman yang nyaris
tenggelam 

dengarlah…
bahwasanya Allah berpesan kepada adam hawa
janganlah engkau makan buah ini
sebab di hari engkau memakannya
pada hari itu juga engkau pasti mati 

ketahuilah…
pada hari adam hawa melanggar perintah
dan memakan buah etz ha-da'at tov va-ra
ia tidak mati
melainkan seekor hewan
yang tubuhnya disembelih
kulitnya diambil jadi pakaian
sebab Allah teramat mengasihi manusia
dengan peri keadilan diadakan pakaian nubuatan
agar orang yang percaya tidaklah binasa
melainkan beroleh kembali anugerah hidup kekal

sesungguhnya...
yang kita tirukan ini,
agar ingat betapa Allah itu setia
yang kita camkan ini,
upah dosa itu maut adanya

bukankah amat sangat mengerikan
jiwa pemakan tumbuhan diwajib amati
detik-detik maut memperkosa hidup
senggama mencabut nyawa nan menyakitkan
gelinjang penuh darah nan menjijikkan
erang sekarat bergaung memekakkan

tatap…
tataplah mata yang terbelalak
oleh derita dan takut nan desak
tubuh kelojotan saat nyawa dilorotkan
lalu nafas diisap habis
sehabis-habisnya habis
sudah…
tapi belum selesai
mati…
harus lanjut binasa
hingga tak bersisa

tatap…
tataplah…
tubuh yang dilemparkan
api yang menghanguskan
lambang siksa tak berkesudahan
demikian upacara korban itu mencamkan

menangislah
bukan untuk korban pewakilmu
tapi tangisilah dirimu
sebab hukuman sejati ada di atasmu

sang anak mendengar penuh ketakutan
memandang ayah bermata kegelisahan

ya, ayah…
sudah sedemikian jauh perjalanan
sudah sangat dekat bukit persembahan
tapi sejak dari rumah…
manalah sang hewan ?

terdiam
mata seorang ayah menerawang
kilatan pisau matanya tajam
dapatkah bayang di pisau itu kupandang ?
ah… tidak sanggup

dibisikkan pada sang anak
Allah yang menyediakan, anakku
Allah yang menyediakan

dibisikkan pada dirinya
dan selalu begitu, jiwaku
dan selalu begitu

mereka berjalan tenang
diam dalam iman

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun