Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Rindu Baduy Dalam: Pelajaran dari Safri, Pelestari Tradisi Hadapi Modernisasi

2 April 2016   04:56 Diperbarui: 3 April 2016   13:30 362
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Editha bersama Safri dkk. Dokpri"][/caption]Safri (24) warga Baduy (Dalam) punya akun facebook? Hahaha... Mimpi kali ye? Sekolah saja tidak, bahasa Indonesia saja belum tentu ngerti, sinyal pun entah jaman mana bisa ketangkep di Cikeusik, Cibeo dan Cikertawana (Baduy Dalam). Mana bisa buka FB kalau enggak dibuatin?

Sikap Anda pasti tidak jauh beda dengan pendapat di atas (tertawa dan tidak percaya) jika saya kabarkan kalau teman saya, seorang warga Baduy Dalam saat ini sudah punya akun media sosial dominan warna biru yang dibidani oleh Mark Zuckerberg ini. 

Tapi bagi saya itu bukan sebuah hal yang mustahil. Karena saya sudah tahu kalau Safri, sahabat saya dari Baduy Dalam yang sudah saya kenal sejak awal Mei 2012 itu memang pintar dan pandai melihat "dunia luar". Dunia di luar Kampung Baduy Dalam yang sangat kukuh memegang adat serta tradisi hingga saat ini.

Jadi flashback ke awal Mei 2012 lalu, saat pertama kali saya ikut acara ngetrip ala backpacker ke Baduy Dalam bersama kawan-kawan dari doyanjalan. Saat itu pertama kali jumpai Safri, seorang pemuda warga Baduy Dalam beserta keluarga besarnya. 

Saya dan delapan orang teman dari Jakarta dijemput Safri yang membawa teman serta saudaranya Sapni, Sarta, Sadam, Ayah Safri yang bernama Pak Narja, Jali, dan lainnya yang saya lupa lagi namanya di Desa Parigi. Saya dan rombongan sebelumnya naik kereta ekonomi dari Stasiun Kota ke Rangkasbitung. Lalu meneruskan perjalanan ke Parigi, pertigaan ke Cijahe menggunakan angkot carteran.

Kami memang tidak menggunakan jalur umum yang biasa dipakai oleh para turis (baik asing maupun domestik) jika mau ke Kampung Baduy. Kami memakai jalan belakang, tepatnya melalui Cijahe, bukan melalui Ciboleger. Jalur ini kami dapat dari Safri sendiri, yang mana diinformasikannya kepada Ari, sang ketua rombongan kami kala itu, melalui SMS (short message service). Ya, SMS!

Kaget? Sama. Saya saat itu kaget dan tidak percaya. Orang Baduy dalam yang sudah pasti tidak bersekolah, tidak (bahkan menolak) berbagai fasilitas modern yang ditawarkan pemerintah dan kukuh memegang teguh adat serta tradisi para leluhurnya untuk hidup jauh dari kekinian, bahkan sebagian orang masih berpandangan kalau orang Baduy tidak mungkin bisa bahasa Indonesia, masa iya sih bisa SMS-an? Tapi itu nyata, kawan. 

Buktinya kami diberitahu Safri untuk turun di Desa Parigi, nanti dijemput melalui jalan Cijahe, ya lewat SMS. Ya, dan kami benar-benar mengalami semua itu. Hingga kami tak mengindahkan tawaran tukang ojek karena Safri menginformasikan via telepon kalau ia akan menjemput kami, jarak dari Parigi ke Cijahe tak lebih dari 3 Km.

[caption caption="Narsis di Cijahe. Dokpri"]

[/caption]Masih teringat sore itu bagaimana kami melewati sore hari dengan pandangan mata yang memanjakan. Gambaran alam desa berupa sawah, pematang, jalan berbatu yang belum diaspal serta bunyi serangga sore menjadi teman kami saat berjalan. 

Terlihat dari kejauhan bebukitan dengan warna hijau yang menyegarkan mata. Rumah penduduk masih jarang walau sebagian sudah modern dengan tembokan dan keramik.

Saat itu sinyal yang tertera di ponsel kami semua operator tak lebih dari dua bar saja. Itu pun lebih sering hilangnya. Wajar, sejauh mata memandang, tak tampak adanya pemancar BTS. Oh, ada satu, itu pun jauh dan katanya belum dioperasikan. Hahaha... Sekarang mungkin sudah bagus.

Safri beserta rombongannya turun kampung demi bisa menjemput kami. Saat itu pertama kali saya dikenalkan Ari kepada Safri, adik-adiknya, saudaranya, juga Pak Narja yang sudah pernah beberapa kali jalan kaki lewat Cianjur saat mau ke Bandung (Sebelum Banten pisah provinsi dari Jawa Barat). 

Safri menyambut dan menyapa kami dengan bahasa Indonesia yang fasih. Dia dan keluarganya malah kebalik kaget saat saya bicara menggunakan bahasa Sunda yang menurut mereka logat dan bahasa saya halus, beda dengan dialek yang mereka pakai.

Saat itu baru saya percaya kalau prasangka kebanyakan orang bahwa orang Baduy itu "terbelakang" adalah salah besar. Yang ada mereka sangat jauh lebih maju dan beradab ketimbang orang kota yang katanya berpendidikan. 

Saya berani katakan itu, karena hanya telat menjemput kami, Safri langsung meminta maaf. Satu sikap sopan santun yang sangat tinggi yang sudah mulai luntur di kalangan orang kota yang kebanyakan malah membuat jam karet jika ada acara.

[caption caption="Saya dan Safri. Dokpri"]

[/caption]Safri dan seluruh warga Baduy Dalam memang menolak sekolah gratis yang ditawarkan pemerintah, pun dengan segala fasilitas serba modern lainnya. Tapi bukan berarti Safri dan warga Baduy Dalam lainnya lalu tidak tahu tata krama. Mereka justru melestarikan tradisi nenek moyang (Bangsa Indonesia) yang selalu adab, sopan dan santun.

Lalu bagaimana bisa berbahasa Indonesia jika sekolah saja tidak? Bagaimana bisa Safri menggunakan ponsel dan bahkan bisa kirim dan terima SMS sementara semua itu terlarang di wilayahnya?

Masih saya ingat setelah saya tanyakan itu semua, jawaban Safri saat itu hanya senyum, tanpa kata. Hanya telunjuknya yang diarahkan ke kedua matanya, kepala serta dadanya. Pada akhirnya Safri menjelaskan kalau ia sama seperti orang lain di luaran sana, kalau sebagai manusia ia juga punya mata, punya pikiran dan punya hati untuk merasakan.

Banyaknya turis yang datang ke Baduy Dalam itu semua dijadikan Safri sebagai bahan pembelajaran. Saat berinteraksi dengan orang luar, Safri menggunakan kesempatan itu untuk terus belajar dan belajar. Dan salutnya, apa yang ia pelajari, tidak dipegangnya sendiri, melainkan Safri mengajarkannya kembali kepada teman serta keluarganya.

"Karena itu aku semakin banyak tahu, semakin bisa dan lancar," ucapnya kala maghrib menemani perjalanan menuju Cibeo saat itu, masih terbayang dalam ingatan saya.

Sepanjang jalan saya bertanya dan Safri beserta teman-temannya menjawab. Mereka dengan ramah dan sopan memberikan informasi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh kami lakukan selama berkunjung nanti ke Baduy Dalam. Termasuk memberi tahu dimana kami bisa berfoto, dan dimana batas kami jangan mengambil foto.

[caption caption="Jembatan bambu batas boleh mengambil foto. Dokpri"]

[/caption]Keterbatasan di kampungnya yang memang melarang segala sesuatu yang bersifat modern membuat Safri membatasi diri dalam mempelajari ilmu-ilmu yang didapatnya itu hanya di luar kampung. 

Jangan kesal jika mengubungi Safri tidak diresponnya karena ia baru akan bisa merespon balik saat ia berada di luar Baduy Dalam. Dan untuk keluar kampung itu memerlukan waktu paling cepat dua jam perjalanan. Bagaimana tidak takjub dengan semangat serta kegigihannya juga pengorbanannya dalam belajar, coba?

Beruntung saya pernah datang berkunjung ke Kampung Baduy Dalam, berkenalan dengan anak mudanya yang meski memegang teguh tradisi leluhurnya tapi cerdas dan punya pandangan maju tak kalah dengan anak-anak kota. 

Beruntung saya hingga kini masih bisa bersahabat dengannya. Beruntung bukan hanya karena keramah-tamahannya yang sangat tinggi, pun juga bukan karena mereka pandai berjalan dalam gelap malam tanpa bantuan cahaya senter sebagaimana kita menggunakannya di kota jika listrik mati. 

Bukan pula karena telapak kaki mereka kuat-kuat mampu berjalan kaki sepanjang hidupnya tanpa alas kaki karena memakai sendal atau sepatu serta naik kendaraan adalah sebuah larangan keras untuk warga Baduy Dalam, tapi terlebih beruntung karena kepandaian mereka dalam mensyukuri serta penghormatan yang sangat tinggi atas karunia yang diberikan-Nya terhadap mereka.

Warga Baduy tidak memeluk agama. Mereka mempercayai kepercayaan secara turun temurun yang disebut Sunda Wiwitan. Tapi rasa syukur mereka terhadap karunia sangat tinggi dan benar-benar direalisasikannya. Kejujuran, toleransi, kerukunan, gotong royong, hidup damai saling membantu sangat tinggi mereka junjung. Jauh dari sifat egois apalagi serakah kekuasaan sebagaimana orang kekinian di kota.

Sebuah paragraf yang saya salin dari tulisan saya sebelumnya bahwa bagaimana seorang Safri warga Baduy Dalam yang terikat oleh tradisi serta adat istiadat yang sangat kuat namun bisa menjejeri kehidupan modern sehingga tak tertinggal atau justru tergerus zaman. Karena sesungguhnya Safri dan warga Baduy Dalam lainnya mereka itu sebetulnya orang yang berilmu, tetapi sikap mereka selalu rendah hati.

[caption caption="Pulang dengan kendaraan bak terbuka"]

[/caption]Semua itu membuat kami merindukan untuk kembali dan terus kembali ke Baduy Dalam. Merindukan suasana malam di Cibeo (rumah Safri) dimana saat duduk di golodog tersaji jutaan bintang di langit yang membentang. Melihat sekitar gelap gulita kami temui dimana-mana. 

Rumah hanya diterangi oleh satu buah lampu tradisional. Terbuat dari tempurung kelapa yang diberi satu sendok minyak goreng sebagai bahan bakarnya. Untaian kapas atau kain secukupnya sebagai penahan nyala api. Sudah. Dengan penerangan sederhana itu mereka bertahan dalam mengarungi malam.

Merindukan jernih dan dinginnya air yang masih terawat serta dijaga kebersihannya. Tak akan lupa saat Safri dan Jali mengantar saya, Edita, Stefani dan Devi ke pancuran (tempat mandi umum) untuk membersihkan diri. Malam itu pertama kali seumur hidup bagi Edita, Stefani dan Devi membersihkan diri tidak menggunakan shampoo maupun sabun. Menyikat gigi juga tanpa pasta gigi.

Bentuk penghargaan warga Baduy terhadap karunia serta berkah dari Yang Maha Kuasa. Mereka menjaga supaya alam serta isinya tidak tercemari produk-produk luar dan tetap berorientasi pada kemurnian alam. Itulah Baduy Dalam yang sebenar-benarnya asli alam Indonesia. Mereka tidak pernah menyakiti alam, karena menurutnya apapun harus dijaga dengan baik.

Jika berada dalam suasana gerah dan berada dalam kondisi macet saya jadi teringat saat bermalam di Cibeo. Merindukan suasana keceriaan saat makan bersama dan ngobrol ramai-ramai. Tidak hanya keluarga Safri yang menjadi tuan rumah, tapi juga saudara Safri lainnya dari rumah sebelah berdatangan dan ikut ngobrol. 

Rindu keadaan kampung gelap gulita, hanya bercahayakan lampu teplok seadanya beserta kelap-kelip bintang di langit sana. Keadaan gelap gulita membuat kami makin merasakan sensasi kondisi alam Cibeo yang benar-benar alami, jauh dari modernisasi. Kunang-kunang yang kelap kelip di halaman jadi objek wisata pertama kali dilihat Edita malam itu.

Keesokan paginya, sebagaimana kebiasaan jika berkunjung ke kampung nenek, saya berkeliling kampung dan beramah-tamah dengan warga sekitar yang tidak berangkat ke ladang. Saat hari terang saya baru bisa mengamati bangunan rumah Baduy Dalam serta isinya dengan saksama. 

Suasana pengap karena rumah tak berjendela kecuali ada beberapa lubang bilik bambu yang sengaja anyamannya direnggangkan sehingga kita bisa mengintip ke luar. Peralatan dapur sangat sederhana kebanyakan terbuat dari bambu, masih tradisional.

Pagi buta Ibu Safri dan Darti --istrinya Safri-- sibuk menyalakan hawu (perapian) dan menyiapkan sarapan. Setelah siap mereka pamitan. Darti hendak ke ladang sementara ibunya Safri, sambil mengendong adik terkecil Safri berpamitan hendak ke lumbung. Mereka mengucapkan terimakasih dan memohon maaf jika nanti kami kembali ke kota tidak bisa mengantar.

Bagi saya pernyataan mereka itu adalah bentuk kesopansantunan dari seorang tuan rumah terhadap tamu. Meski warga Baduy Dalam ini tidak mengenyam pendidikan formal, tapi mereka memiliki perilaku yang beradab, santun dan tanggung jawab.

Pak Narja sendiri tanpa kami ketahui sudah berangkat ke Cijahe membantu kami mencarikan angkutan untuk pulang ke Rangkasbitung. Kebetulan ada kerabatnya yang tinggal di Baduy Luar dan memiliki angkutan yang biasa dipakai ke Pasar Kroya. 

Menuju ke Cijahe kami berjalan sambil mencicipi buah kokosan dan asem kranji hasil dari hutan Baduy Dalam. Selain berladang, warga Baduy Dalam juga menjual asem kranji, buah kokosan serta madu yang mereka dapat dari hutan sebagai lahan usahanya.

[caption caption="Selalu rindu kembali ke Baduy Dalam"]

[/caption]Menginap di Baduy Dalam banyak pelajaran yang kami dapat. Belajar tentang rasa syukur, cinta sesama, kepemimpinan, loyalitas, kesederhanaan, dan kejujuran. Rasanya berat hati kami meninggalkan Baduy Dalam. Kampung dengan penuh kesederhanaan dengan komitmen tidak ikut terbawa arus modernisasi. Kampung yang memiliki pemimpin yang dihormati seluruh warga. Kampung yang seluruh warganya patuh pada hukum.

Sepulangnya dari Baduy meski tinggal berjauhan, komunikasi dengan Safri tetap berjalan. Saat Safri datang ke Jakarta, selalu ia menghubungi saya baik lewat SMS maupun telepon. Jika teman-teman di Jakarta pernah jumpa Safri dan kawan-kawannya, mungkin hanya saya yang tinggal di Cianjur yang belum bisa dikunjunginya.

Kabar terakhir Safri datang dari Arman, si empunya doyanjalan. Melalui kabar yang didapat Arman dari Safri diketahui kalau saat ini di Baduy Dalam sedang masa kawalu alias musim panen. Diperkirakan baru selesai bulai Mei mendatang. 

Saya bisa membayangkan kampung di Baduy Dalam pasti semakin sepi karena jika musim ke ladang mereka memang menginap dan tinggal beberapa hari. Begitu yang kami alami saat melewati Kampung Cikertawana yang ditinggal warganya berladang. Kampung sunyi sepi karena ditinggal pergi.

Berladang bagi penduduk Baduy Dalam bukan hanya sekadar mata pencaharian, tetapi juga sebuah ritual ibadah. Menurut mereka menanam padi gogo adalah sebuah ritual mengawinkan dewi padi atau Nyi Pohaci Sanghyang Asri. Karenanya mereka berladang dengan sepenuh hati serta sangat menjunjung tinggi aturan adat nenek moyangnya.

Begitulah, meski berjauhan kami dan Safri tetap berkomunikasi. Jadi tidak heran kan kalau Safri seorang Baduy Dalam ia kini mengaktifkan dan punya akun facebook? Jika awal tahun 2012 saja Safri sudah pandai menggunakan ponsel, termasuk kirim dan terima pesan pendek (SMS) bukan sebuah hal yang tidak mungkin jika tahun 2016 ini Safri sudah punya akun jejaring sosial sendiri, meski dipakainya terbatas (hanya pada saat tertentu) tak jadi gaya hidup seperti kita pada umumnya. (ol)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun