Rindu keadaan kampung gelap gulita, hanya bercahayakan lampu teplok seadanya beserta kelap-kelip bintang di langit sana. Keadaan gelap gulita membuat kami makin merasakan sensasi kondisi alam Cibeo yang benar-benar alami, jauh dari modernisasi. Kunang-kunang yang kelap kelip di halaman jadi objek wisata pertama kali dilihat Edita malam itu.
Keesokan paginya, sebagaimana kebiasaan jika berkunjung ke kampung nenek, saya berkeliling kampung dan beramah-tamah dengan warga sekitar yang tidak berangkat ke ladang. Saat hari terang saya baru bisa mengamati bangunan rumah Baduy Dalam serta isinya dengan saksama.Â
Suasana pengap karena rumah tak berjendela kecuali ada beberapa lubang bilik bambu yang sengaja anyamannya direnggangkan sehingga kita bisa mengintip ke luar. Peralatan dapur sangat sederhana kebanyakan terbuat dari bambu, masih tradisional.
Pagi buta Ibu Safri dan Darti --istrinya Safri-- sibuk menyalakan hawu (perapian) dan menyiapkan sarapan. Setelah siap mereka pamitan. Darti hendak ke ladang sementara ibunya Safri, sambil mengendong adik terkecil Safri berpamitan hendak ke lumbung. Mereka mengucapkan terimakasih dan memohon maaf jika nanti kami kembali ke kota tidak bisa mengantar.
Bagi saya pernyataan mereka itu adalah bentuk kesopansantunan dari seorang tuan rumah terhadap tamu. Meski warga Baduy Dalam ini tidak mengenyam pendidikan formal, tapi mereka memiliki perilaku yang beradab, santun dan tanggung jawab.
Pak Narja sendiri tanpa kami ketahui sudah berangkat ke Cijahe membantu kami mencarikan angkutan untuk pulang ke Rangkasbitung. Kebetulan ada kerabatnya yang tinggal di Baduy Luar dan memiliki angkutan yang biasa dipakai ke Pasar Kroya.Â
Menuju ke Cijahe kami berjalan sambil mencicipi buah kokosan dan asem kranji hasil dari hutan Baduy Dalam. Selain berladang, warga Baduy Dalam juga menjual asem kranji, buah kokosan serta madu yang mereka dapat dari hutan sebagai lahan usahanya.
[caption caption="Selalu rindu kembali ke Baduy Dalam"]
Sepulangnya dari Baduy meski tinggal berjauhan, komunikasi dengan Safri tetap berjalan. Saat Safri datang ke Jakarta, selalu ia menghubungi saya baik lewat SMS maupun telepon. Jika teman-teman di Jakarta pernah jumpa Safri dan kawan-kawannya, mungkin hanya saya yang tinggal di Cianjur yang belum bisa dikunjunginya.
Kabar terakhir Safri datang dari Arman, si empunya doyanjalan. Melalui kabar yang didapat Arman dari Safri diketahui kalau saat ini di Baduy Dalam sedang masa kawalu alias musim panen. Diperkirakan baru selesai bulai Mei mendatang.Â
Saya bisa membayangkan kampung di Baduy Dalam pasti semakin sepi karena jika musim ke ladang mereka memang menginap dan tinggal beberapa hari. Begitu yang kami alami saat melewati Kampung Cikertawana yang ditinggal warganya berladang. Kampung sunyi sepi karena ditinggal pergi.